5.000 Orang Kehilangan Pekerjaan
KARAWANG, RAKA- Upah yang tinggi menjadi salah satu penyebab sejumlah perusahaan di Karawang hengkang ke luar daerah, bahkan ada yang tutup. Saat ini, ada sekitar 5.000 orang harus kehilangan pekerjaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Karawang, Rosmalia Dewi mengatakan tahun 2024 ada satu perusahan logistik di kawasan tutup dengan jumlah karyawan sebanyak 51 orang.
Tidak hanya itu, sejumlah perusahaan padat karya pun hengkang dan berdampak pada 5.000 orang kehilangan pekerjaan. “Perusahaan yang hengkang belum ada lagi dan mudah-mudahan kondusif.
Untuk padat karya agak berat di Karawang dengan upah yang sangat tinggi sedangkan di daerah lain upahnya setengah dari Karawang. Mudah-mudahan perusahaan padat karya yang masih bertahan bisa dijaga bersama,” ujarnya, Senin (21/10).
Untuk melindungi perusahaan dengan karyawan non skill, dia menginginkan agar dibuatkan upah khusus. Hal itu menjadi salah satu langkah dalam menjaga keberadaan perusahaan di Karawang.
“Kalau menurut ketentuan upah sudah ada aturan dan bekerja sesuai dengan aturan. Untuk menjaga yang relatif memperkejakan tenaga kerja non skill bisa membuat upah khusus. Saya belum bisa mengomentari untuk hal itu, lebih kurang 5.000 orang yang sudah terdampak,” tambahnya.
Rosmalia juga menekankan pada perusahaan agar menaati aturan ketenagakerjaan. “Tidak punya kemampuan dan kewenangan untuk menahan karena itu hak dari masing-masing perusahaan. Kepada perusahaan pertama ikuti aturan ketenagakerjaan, kami membuka kesempatan konsultasi. Kedua bagi teman-teman pekerja bekerjalah dengan baik, jaga kondusivitas di perusahaan agar tetap memberikan manfaat. Dampak perusahaan bukan untuk pekerja saja tetapi untuk lingkungan,” imbuhnya.
Sementara itu, Dion Untung Wijaya, Ketua DPC KSPSI Karawang mengungkapkan, keluarnya perusahaan dari wilayah Karawang disebabkan adanya perbedaan upah antara Karawang dengan daerah lainnya. Ia ingin agar pemerintah pusat segera membuat aturan tentang pemberian upah yang merata dan seimbang.
“Kami dari buruh merasa prihatin adanya perusahaan yang hengkang dan direlokasi dengan alasan tidak sanggup dengan UMK Karawang. Kesalahan ada di pemerintah pusat yang membuat kebijakan tentang pengupahan karena terjadi perbedaan yang cukup jauh tentang UMK,” ungkapnya.
Dirinya masih mendapatkan keluhan tentang kemampuan dan ketersediaan tenaga kerja dari perusahaan yang telah hengkang dari Karawang. Ia menyampaikan terdapat beberapa perusahaan yang melakukan proses finishing produk di Karawang meski lokasi PT tidak sama. Hal itu sebagai salah satu cara dalam mencari kemampuan tenaga kerja yang seimbang.
“Karawang dengan Purwakarta berbeda 600 ribu, Purwakarta dengan Subang berbeda 600 ribu akhirnya membuat perusahaan relokasi apalagi industri garmen yang lebih mudah memindahkan usahanya. Bukan karena Karawang yang tinggi tetapi upah daerah lain yang masih rendah. Daerah lain baru memulai industrinya, kalau di Karawang dan Bekasi wajar dengan upah sekarang karena kemampuan tenaga kerja dari Karawang sudah bagus.
Terbukti dengan perusahaan garmen yang sudah relokasi tempatnya sering mengeluh tentang kemampuan, ketersediaan tenaga kerja. Garmen itu memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak, ada beberapa perusahaan yang mempunyai cara seperti finishing masih tetap di Karawang meskipun lokasi perusahaan di Majalengka,” terangnya.
Meski telah ada perusahaan yang hengkang akibat upah tinggi di Karawang, namun pihak buruh masih tetap menginginkan adanya kenaikan upah minimal 10 persen. Permintaan tersebut hingga sekarang masih menunggu keputusan akhir dari pemerintah daerah dan dewan pengupahan. “Kalau kenaikan upah harus karena harga barang juga naik. Perhitungan kami dengan adanya inflasi dan pertumbuhan ekonomi itu inginnya naik 10 persen. Belum disetujui karena belum waktunya, dewan pengupahan juga membentuk aturan. Pengajuan UMK paling lambat 30 November,” tutupnya. (nad)