Karawang

Lalat Tentara Hitam, Si Pemakan Sampah

KARAWANG, RAKA – Ketika kita mendengar kata lalat, yang terpintas dalam kepala kita adalah serangga kecil yang membawa banyak penyakit. Namun, hal ini tidak berlaku untuk lalat tentara hitam. Serangga ini seakan menjadi lawan dari lalat hijau yang membawa banyak penyakit. Lalat yang hanya hidup di wilayah tropis ini dikenal sebagai serangga yang bersih tidak seperti lalat lainnya.
Secara morfologi tubuh pun lalat ini berbeda dengan lalat lainnya. Pasalnya, lalat tentara hitam diketahui tidak memiliki mulut. Artinya, selama fase hidupnya sebagai lalat, serangga ini tidak makan. Ia hanya mengecap saja. Ini berbeda dengan lalat yang lain yang memiliki mulut untuk memakan sampah. Kebiasaan makan sampah inilah yang menyebabkan kebanyakan lalat menjadi sumber penyakit. Selain dari perilakunya, desain morfologi tubuh juga membuat lalat ini memang terkenal akan serangga yang bersih. Selama para peneliti mengamati serangga ini, mereka menemukan bahwa larva atau maggotnya bisa mengurangi bakteri jahat yang ada di sampah, di antaranya salmonella dan E. coli penyebab diare. fase dari maggot atau belatung untuk menjadi lalat tentara hitam dewasa berbeda dengan lalat kebanyakan. Jika larva lalat lainnya hanya membutuhkan waktu seminggu untuk menjadi dewasa, pada lalat tentara hitam, maggot membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menjadi dewasa. Perbedaan fase tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengolahan sampah organik karena dengan masa maggotnya yang lama, maka pada fase tersebut mereka akan mengonsumsi sampah lebih banyak daripada larva lainnya. Maggot yang mengonsumsi sampah organik nantinya dapat digunkan sebagai pakan hewan ternakan seperti lele, ayam, dan bebek.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) dan Perbanusa membuat bank sampah dan pengolahan limbah organik menggunakan lalat maggot black soldier fly (BSF) di Desa Malangsari, Kecamatan Pedes, belum lama ini.

Dosen Fakultas Pertanian Unsika Rika Yayu Agustini menyebut, berdasarkan data SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) tahun 2020, volume terbesar sampah di Jawa Barat terdapat pada jenis sampah organik sisa makanan yang mencapai 43,67 persen, dan meningkat pada tahun 2021 hingga mencapai 45,55 persen.
“Sisa makanan tersebut didominasi oleh sampah yang berasal dari limbah rumah tangga, sekitar 40,14 persen dari total keseluruhan sumber asal sampah,” kata Rika.

Lebih lanjut menurut Rika, apabila sampah tersebut tidak dikelola dengan baik, maka sampah itu akan berpotensi mencemari udara dan perairan. Untuk memanfaatkan sampah tersebut, kata Rika, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan lalat maggot BSF sebagai agen pengurai sampah organik. Selain tidak menimbulkan bau sampah, hal itu juga bisa menjadi sumber penghasilan masyarakat setempat.
“Pengolahan sampah dengan menggunakan maggot juga dapat menjadi salah satu usaha masyarakat,” ujarnya.
Pada kegiatan sosialisasi dan pembuatan bank sampah itu, juga turut hadir dari perkumpulan pengelola sampah dan bank sampah nusantara atau Perbanusa. Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Irawan menyambut baik dengan kegiatan yang dilakukan oleh dosen pertanian. Kegiatan itu sekaligus membentuk kepengurusan bank sampah di Desa Malangsari.
“Dosen Fakultas Pertanian Unsika juga menghibahkan kandang maggot semi permanen sebagai salah satu modal awal bank sampah untuk budidaya maggot BSF,” pungkasnya. (mra)

Related Articles

Back to top button