Mahasiswa Tolak Pemberian Izin
KARAWANG, RAKA- Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada pimpinan kampus oleh pemerintah atau korporasi menuai polemik bagi sejumlah kalangan, salah satunya mahasiswa. Pemberian izin tersebut dinilai bukan hanya sekadar kebijakan biasa, melainkan merupakan serangan secara langsung terhadap kebebasan akademik dan demokrasi.
Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) Tri Prasetio Putra Mumpuni mengatakan, pemberian IUP kepada pimpinan kampus merupakan sebuah skema yang dirancang untuk melumpuhkan gerakan mahasiswa, bahkan pilar penting dalam mengawasi kekuasaan dan memperjuangkan keadilan.
“Gerakan mahasiswa telah lama menjadi ancaman bagi para pemegang kuasa yang korup. Mereka hadir sebagai suara rakyat, melawan ketidakadilan, mengecam eksploitasi sumber daya alam, hingga menuntut kebijakan yang berpihak kepada masyarakat,”katanya, Senin (27/1).
Dikatakannya, melalui pemberian IUP, pemerintah dan korporasi mencoba menjinakkan kampus sebagai ruang perlawanan. Mereka menyusupkan kepentingan bisnis ke dalam institusi pendidikan, menjadikannya alat untuk membungkam suara kritis mahasiswa.
“Pemberian IUP kepada pimpinan kampus adalah bentuk korupsi terselubung. Ini bukan sekadar konflik kepentingan, melainkan upaya sistematis untuk mengubah kampus menjadi perpanjangan tangan kekuasaan,” paparnya.
Menurutnya, pimpinan kampus yang terikat dengan kepentingan bisnis tidak lagi memiliki integritas untuk melindungi kebebasan berpendapat. Sebaliknya, mereka menjadi penekan yang langsung atau tidak langsung menekan gerakan mahasiswa dengan dalih stabilitas kampus.
Baca Juga : LPQQ Cikampek dan Kotabaru Dilantik
“Mahasiswa yang berani bersuara kritis berisiko mendapat tekanan administratif, ancaman akademik, hingga kriminalisasi. Kampus yang seharusnya menjadi ruang diskursus malah menjelma menjadi arena pengendalian,”terangnya.
“IUP ini menciptakan situasi di mana kepentingan ekonomi segelintir elit kampus dan pemerintah mengorbankan idealisme mahasiswa dan hak rakyat,” tambahnya.
Menurutnya, strategi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Mahasiswa selama ini menjadi aktor utama dalam mengawasi dan melawan kebijakan yang merugikan publik seperti omnibus law, privatisasi pendidikan, hingga eksploitasi lingkungan.
“Pemberian IUP kepada pimpinan kampus adalah taktik licik untuk memotong perlawanan dari akarnya,” tegasnya.
Diungkapkannya juga, gerakan mahasiswa tidak hanya menghadapi represi langsung melalui aparat negara, tetapi juga dari dalam kampus sendiri. Peningkatan pengamanan, sensor terhadap diskusi kritis hingga penggembosan organisasi mahasiswa menjadi pola yang terus berulang.
“Semua ini dilakukan untuk menciptakan kampus yang aman, bukan aman untuk mahasiswa, tetapi aman bagi kepentingan pemerintah dan korporasi,” ungkapnya.
Dijelaskannya, mahasiswa harus memahami bahwa pemberian IUP ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai pendidikan. Pendidikan bukan untuk melayani pasar atau menjadi alat penundukan, melainkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Melawan skema ini tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada konsolidasi gerakan lintas kampus, lintas daerah, bahkan lintas sektor.
“Kampus yang terjebak dalam konflik kepentingan harus diekspos. Mahasiswa perlu menggugat transparansi dan akuntabilitas pimpinan kampus, sekaligus membangun narasi bahwa pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Ruang digital harus dimanfaatkan untuk menyebarluaskan bukti dan melibatkan masyarakat luas dalam perjuangan ini,”jelasnnya.
Lanjutnya, ketika pemerintah dan korporasi menyusupkan kepentingan ekonomi ke dalam kampus, mereka tidak hanya menyerang mahasiswa, tetapi juga meruntuhkan pilar-pilar demokrasi. Pemberian IUP kepada pimpinan kampus adalah penghinaan terhadap prinsip independensi pendidikan, sebuah upaya untuk mengubah kampus menjadi alat kontrol yang melayani kepentingan kapital dan oligarki.
“Gerakan mahasiswa tidak boleh kompromi. Perlawanan terhadap IUP dan segala bentuk represi harus dilakukan dengan keras dan tegas. Kampus bukan tambang emas untuk dikeruk, bukan pula alat kekuasaan untuk membungkam. Kampus adalah ruang perlawanan dan perlawanan harus terus hidup,”tegasnya.
Menurutnya, demokrasi sedang diuji, dan mahasiswa harus berdiri digaris depan perjuangan ini.
“Jika kita diam, maka kampus akan menjadi kuburan bagi kebebasan. Pilihannya jelas melawan atau tunduk. Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang melawan,” tutupnya. (zal)