Gaji Guru Honorer Tak Sebanding Biaya Hidup
KARAWANG,RAKA – Di balik gemerlap pembangunan dan kemajuan pendidikan, tersimpan kisah pilu para guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi namun belum mendapatkan kepastian status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satunya adalah Enja Suryana (60), guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di SD Negeri Sukareja 2, yang telah menjadi tenaga honorer sejak tahun 2007.
Meski telah mengabdi selama 18 tahun, nasibnya sebagai guru honorer tetap belum berubah menjadi ASN.
“Saya sudah pernah ikut seleksi PNS dan PPPK, tapi ya mungkin belum rezekinya. Kalau sekarang sudah terbentur usia, Agustus 2025 nanti saya sudah pensiun,” ujar Enja dengan nada pasrah.
Saat ini, ia hanya menerima honor Rp750.000 per bulan, ditambah sedikit insentif tambahan dari dinas pendidikan karena masa kerjanya yang telah lebih dari 17 tahun.
Namun, jumlah tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Ya, sebenarnya kurang sih, makanya saya harus kerja sampingan jadi buruh tani,” ungkapnya.
Meskipun dihadapkan pada keterbatasan ekonomi, semangat Enja dalam mendidik anak-anak tetap tinggi.
Baginya, menjadi tenaga pendidik adalah sebuah tanggung jawab untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.
“Saya berharap kepada pemerintah supaya guru honorer yang sudah lama mengabdi bisa diangkat menjadi ASN, baik PNS maupun PPPK, karena kasihan lah,” tuturnya dengan penuh harap.
Merespons kondisi yang dialami Enja dan banyak guru honorer lainnya, Asep Syarifudin, Sekretaris Komisi IV DPRD Karawang sekaligus Ketua Fraksi Amanat Golkar, langsung menggelar reses kedua untuk menyerap aspirasi dari tenaga honorer yang sudah lama mengabdi namun belum berhasil menjadi ASN.
Usai menyerap aspirasi dari honorer Se- Kecamatan Rawamerta, Asep mengaku prihatin dan berjanji untuk mendorong pemerintah agar memperjuangkan nasib para tenaga pendidik tersebut.
“Memang mekanisme pengangkatan guru PPPK ini bergantung pada kebutuhan sekolah. Namun, dari hasil reses yang kami lakukan, banyak guru PAI yang sudah belasan tahun mengabdi tapi belum mendapatkan kejelasan status. Ini sangat miris dan harus diperjuangkan,” tegas Asep.
Ia mengungkapkan bahwa dalam menentukan kuota PPPK, kabupaten/kota harus lebih selektif dan mempertimbangkan realitas di lapangan. Banyak guru honorer PAI yang telah mengabdi lebih dari 15 tahun, tetapi masih belum mendapatkan kesempatan untuk diangkat sebagai ASN karena keterbatasan formasi.
“Kami akan segera berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) serta Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang. Kami ingin memastikan bahwa guru-guru seperti Pak Enja ini tidak terabaikan,” tambahnya.
Selain guru, Asep juga menyoroti nasib tenaga kependidikan lainnya, seperti penjaga sekolah yang telah bekerja puluhan tahun tetapi belum mendapatkan status yang layak.
“Ada juga Pak Waslam, yang sudah 20 tahun lebih menjadi penjaga sekolah, tetapi karena tidak ada formasi, ia masih tetap berstatus honorer. Ini juga perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah saat menentukan formasi kuota PPPK,” jelasnya.
Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh guru honorer seperti Enja dan Waslam adalah batasan usia dan jumlah formasi dalam seleksi ASN.
Saat ini, banyak guru honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun, tetapi karena faktor usia, mereka tidak bisa mengikuti seleksi PNS maupun PPPK.
Ketika ditanya mengenai solusi untuk guru honorer yang sudah tidak memenuhi syarat usia, Asep menegaskan bahwa pemerintah daerah harus mencari jalan keluar yang adil.
“Kami akan berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan dan BKPSDM untuk mengetahui berapa banyak guru PAI yang berada dalam situasi seperti Pak Enja ini. Harus ada win-win solution agar pengabdian mereka selama bertahun-tahun tidak diabaikan begitu saja,” ujarnya.
Baca Juga : Satu Pasien Meninggal, Warga Diminta Waspada DBD
Menurutnya, pengabdian guru honorer yang telah bertahan selama 15-20 tahun seharusnya mendapatkan penghargaan dari pemerintah daerah.
“Mereka telah memberikan dedikasi yang luar biasa dalam mendidik generasi bangsa. Jangan sampai karena persoalan teknis atau batasan usia, mereka tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima,” tegas Asep.
Nasib guru honorer di Karawang masih menjadi polemik yang membutuhkan solusi konkret dari pemerintah daerah.
Kisah Enja Suryana dan Waslam hanyalah bagian kecil dari sekian banyak potret perjuangan tenaga pendidik yang telah lama mengabdi, tetapi masih harus bergelut dengan ketidakpastian status dan kesejahteraan.
Kini, para guru honorer hanya bisa berharap agar perjuangan mereka tidak berakhir sia-sia, dan ada kebijakan nyata yang benar-benar berpihak kepada mereka.
“DPRD Karawang berkomitmen untuk memperjuangkan formasi PPPK yang lebih adil dan mempertimbangkan realitas di lapangan, khususnya bagi guru honorer yang telah lama mengabdi,” pungkas Asep.(cr1)
“Mereka telah memberikan dedikasi yang luar biasa dalam mendidik generasi bangsa,” Asep Syarifudin