
KARAWANG,RAKA– Di tengah riuh perkembangan kota Karawang yang modern, berdiri anggun sebuah bangunan penuh warna sejarah dan spiritualitas: Kelenteng Sian Djin Ku Poh.
Terletak di Jalan Muhamad Toha No. 9, Tanjungmekar, Karawang Barat, kelenteng ini saksi bisu jejak akulturasi budaya Tionghoa.
Menurut penuturan Obar Subarja, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Karawang, Kelenteng Sian Djin Ku Poh diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-17, menjadikannya salah satu tempat ibadah tertua di wilayah ini.
Baca Juga : Jemaah Haji Karawang Mulai Dipulangkan
“Kelenteng ini bukan hanya penting bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari warisan sejarah Karawang yang harus dijaga dan dikenali oleh generasi muda,” jelas Obar, Rabu (11/6).
Nama Sian Djin Ku Poh sendiri berasal dari sosok legendaris bernama Mak Ku Poh, seorang nenek dari Tiongkok yang dikenal karena kebaikan dan welas asihnya terhadap sesama.
Setelah wafat, abunya dibawa oleh tiga marga Tionghoa perantau Lauw, Tjiong, dan Khouw yang melintasi samudera hingga tiba di muara Cabangbungin, Bekasi, dan kemudian menyusuri Sungai Citarum hingga akhirnya menetap di wilayah yang kini menjadi Karawang Barat.
“Dari sinilah sejarah panjang kelenteng dimulai,” lanjut Obar.
“Awalnya tempat ibadah ini hanya berupa bangunan sederhana. Namun seiring waktu, melalui berbagai pemugaran termasuk renovasi besar pada tahun 1791, relokasi altar pada 1830, hingga pembangunan permanen dari batu bata pada 1865 kelenteng ini berkembang menjadi seperti yang kita lihat hari ini,” sambungnya lagi.
Kelenteng yang kini dikelola oleh Yayasan Sian Djin Ku Poh ini memiliki sembilan altar utama yang masing-masing memiliki makna spiritual mendalam. Dari altar Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Adi Budha yang menjadi pusat ibadah tertinggi, hingga altar Si Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang juga dikenal luas dalam tradisi Tao dan Buddha di Asia Tenggara.
Tonton Juga : MARIE THOMAS, DOKTER PEREMPUAN PERTAMA DI INDONESIA
Tak ketinggalan altar To Tie Kong, sang dewa pelindung dengan sosok tua berjanggut putih dan seekor harimau di sisinya, menjadi simbol penjaga dari marabahaya. Keunikan lain dari kelenteng ini terletak pada perpaduan gaya arsitektur dan nilai-nilai yang diusungnya. “Kelenteng Sian Djin Ku Poh adalah contoh harmonisasi spiritualitas dan sejarah,” tambah Obar.
“Di balik tiap patung dan hiolo, terdapat cerita peradaban, migrasi, dan harapan akan kedamaian yang dibawa oleh para leluhur Tionghoa ke tanah Jawa,” timpalnya lagi.
Sebagai Ketua TACB, Obar menegaskan pentingnya pelestarian situs ini sebagai cagar budaya. Ia berharap pemerintah daerah dan masyarakat turut berperan aktif menjaga nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.
“Kelenteng ini bukan hanya milik umat Tionghoa, tetapi milik kita semua sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman,” pungkasnya.
Hari ini, Kelenteng Sian Djin Ku Poh masih ramai dikunjungi umat yang beribadah maupun wisatawan yang ingin menyelami nilai-nilai budaya dan spiritualitas leluhur. Di tengah denyut Karawang yang terus bergerak maju, kelenteng ini tetap menjadi titik hening, pengingat akan pentingnya merawat akar sejarah dalam keberagaman.(uty)