Featured
Trending

Warisan VOC, Luka Ekologi, dan Harta Karun Kesadaran dari Tangkolak

Radarkarawang.id — Pagi yang lengang di Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Dama Saputra (37) menatap laut lepas yang dulu memberinya kekayaan dengan cara yang nyaris merenggut nyawa. Dua dekade lalu, ia dan banyak warga lain pernah menjadikan dasar laut Tangkolak sebagai ladang emas dengan kapal-kapal karam peninggalan era Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) sebagai saksinya.

Koin emas, keramik Tiongkok, hingga guci tua menjadi bukti bisu kejayaan masa lalu. Tidak heran jika Tangkolak kemudian dijuluki ‘kuburan kapal’. Tapi, di balik daya tarik sejarah dan nilai ekonominya, ada kisah kelam perburuan masif dengan peralatan seadanya dan tanpa pengetahuan keselamatan.

“Dulu kita menyelam pakai kompresor bengkel, bukan scuba. Ada yang meninggal di laut, tapi tetap lanjut, karena hasilnya besar,” kenang Dama pada Senin, (8/9).

Lebih dari sekadar artefak sejarah, dasar laut Tangkolak ternyata juga menyimpan kekayaan ekologis lain seperti terumbu karang. Temuan ini bahkan sempat mengejutkan Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si., ahli terumbu karang dari IPB. Ia datang ke lokasi dengan ekspektasi rendah, mengingat visibilitas airnya yang buruk.

“Saya pikir mana mungkin ada terumbu karang di sini. Tapi saat menyelam, meski jarak pandang hanya satu meter, saya melihat struktur karang yang besar. Saya kaget,” ujarnya, Kamis (19/6/2025).

Tak lama kemudian, fakta mengejutkan lainnya terungkap. Terumbu karang tumbuh subur di sekitar bangkai kapal VOC dan keramik tua. Benda-benda peninggalan masa lalu itu tak hanya menyimpan cerita sejarah, tetapi juga menjadi substrat keras tempat menempelnya zigot karang, menjadi kehidupan ekosistem laut yang vital.

Sayangnya, dulu warga tak memahami peran penting terumbu karang bagi laut. Batu karang dikumpulkan, dipahat, dan diangkut dalam jumlah besar. Satu kelompok penyelam bahkan bisa mengangkat satu truk karang dalam seminggu. Bongkahan karang ini laku dijual, bahkan hingga ke luar negeri.

Baca juga: Produksi Padi Karawang Tertinggi Kedua di Jabar

Namun, keserakahan itu berujung krisis. Sekitar tahun 2012, tangkapan ikan menurun drastis hingga 60 persen. Ekosistem laut terganggu, ikan kehilangan rumah, dan nelayan kehilangan penghidupan. Perlahan, warga mulai sadar, ada sesuatu yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.

Ramachandra Guha (2000:76), sosiolog asal India, dalam bukunya Environmentalism: A Global History, menyebut perubahan sikap warga seperti ini sebagai bagian dari environmentalism of the poor, di mana masyarakat yang bergantung langsung pada alam sering kali menjadi pelindung paling setia ketika kesadaran mulai tumbuh.

Kesadaran itu menjadi titik balik. Warga yang dulu jadi pemburu, kini menjadi penjaga dengan membentuk kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS) berkolaborasi dengan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dan peneliti IPB.

Dalam pandangan Garrett Hardin (1968) pada artikelnya yang berjudul The Tragedy of the Commons, tragedi lingkungan seperti ini merupakan bentuk nyata dari tragedy of the commons ketika sumber daya milik bersama, seperti laut, dirusak oleh kepentingan individu yang bertindak tanpa kendali kolektif. Solusinya, menurut Hardin, bukan hanya kesadaran moral, tapi perlunya kehadiran kontrol sosial yang konkret untuk mengatur dan membimbing perilaku masyarakat.

Di titik inilah kehadiran Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) mengambil peran penting. Tidak hanya sebagai perusahaan energi, tetapi sebagai pihak yang menjalankan fungsi kontrol sosial dalam bentuk kolaborasi, pendampingan, dan transfer pengetahuan.

General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama, menjelaskan bahwa kolaborasi ini lahir dari urgensi memulihkan ekosistem dan menyediakan alternatif ekonomi bagi nelayan.

“Kelompok PAS mengemban tiga misi, mengembalikan habitat terumbu karang, meningkatkan hasil tangkap ikan, dan membentuk ekosistem pariwisata berbasis konservasi,” ujarnya, Kamis (19/6).

Lewat program “Otak Jawara” akronim dari Orang Tua Asuh Karang di Laut Utara Jakarta dan Jawa Barat, yang dimulai sejak 2022 melakukan transplantasi terumbu karang dengan metode modul paranje, struktur berbentuk seperti kurungan ayam yang kokoh, berat, dan ideal sebagai tempat hidup karang dan ikan.

Modul ini diturunkan ke dasar laut Karang Sendulang, area transplantasi seluas 1.700 meter persegi di laut utara Karawang. Hingga 2025, tercatat ada 770 modul dan 3.479 fragmen karang yang telah ditanam.

Hasilnya mencengangkan. Dari 400 bibit karang, 90% tumbuh subur meski laut Sendulang dikenal dengan sedimentasi tinggi dan visibilitas rendah. “Itu angka yang sangat tinggi. Ini artinya habitat laut bisa pulih jika kita serius menjaganya,” jelas Dr. Wazir.

Tonton Juga: Kreatifitas Warga Dawuan

Lebih dari itu, PHE ONWJ juga memberikan pelatihan menyelam, sertifikasi selam, dan alternatif ekonomi seperti wisata edukasi bawah laut. Harapannya, nelayan tak lagi bergantung pada praktik lama menyelam dengan kompresor bengkel yang berisiko tinggi dan merusak lingkungan.

Dalam perspektif Islam, menjaga lingkungan bukan sekadar kewajiban moral, tapi bagian dari amanah sebagai khalifah. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan,” bunyi ayat dalam Surat Al-A’raf: 56. Rasulullah SAW pun bersabda:

“Sesungguhnya dunia itu manis nan hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah padanya lalu mengawasi bagaimana kalian berbuat.”
(HR. Muslim)

Apa yang dilakukan warga Sukakerta dan kelompok PAS sejalan dengan prinsip khalifah fil ardh bahwa manusia bertanggung jawab menjaga bumi, bukan mengeksploitasinya.

Dari sisi ekologi modern, peran terumbu karang sangat besar, ia menjadi habitat, pelindung pantai dari abrasi, serta sumber makanan dan pendapatan. Keberadaannya penting dalam rantai makanan laut. Dalam konteks konservasi modern, gerakan warga Tangkolak bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk nyata dari restorasi ekologis berbasis komunitas (community-based ecological restoration).

Kini, Tangkolak bukan lagi lautan harta karun yang diburu, tapi lautan pengetahuan dan pelestarian. Sekolah, komunitas, peneliti semua datang untuk belajar dari warga yang telah memiliki kesadaran.

Seperti di dunia One Piece, harta karun sejati ternyata bukan koin emas atau Guci kuno. Harta karun itu adalah kesadaran. Kesadaran bahwa dari laut yang pernah dijarah, kehidupan bisa tumbuh kembali. Dari tangan yang dulu merusak, kini tumbuh harapan untuk merawat.

Pjs. Kepala Desa Sukakerta, Nurhasan, menyatakan karang sendulang adalah bukti bahwa perubahan selalu mungkin selama masih ada tekad untuk belajar dari masa lalu, dan menanam harapan bahkan di dasar laut yang paling dalam.

“Saya bertemu dengan orang-orang yang tulus peduli. Laut kini lebih baik. Ini bukan hanya proyek, tapi gerakan perubahan,” ujarnya. (uty)

Related Articles

Back to top button