
KARAWANG, RAKA – Polemik seputar aktivitas PT Vanesha Sukma Mandiri (VSM) kembali menjadi sorotan publik. Perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan tanah urug di kawasan Karawang New Industry City (KNIC), Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, tidak hanya menghadapi isu tunggakan pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) senilai miliaran rupiah, tetapi juga tudingan melakukan kegiatan galian di atas lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak diperuntukkan pertambangan.
Pada Agustus 2025 lalu, tim gabungan dari Satpol PP, Polri, dan TNI mendatangi lokasi galian tanah tersebut. PT VSM diketahui mengangkut sekaligus diduga menjual hasil tanah urug dari lahan milik PT Contemporary Amperex Technology Limited (CATL).
Dari catatan pemerintah daerah, VSM menunggak pajak MBLB hingga Rp4,5 miliar. Namun menjelang rencana penutupan oleh Satpol PP, pihak perusahaan melakukan pembayaran cicilan termin pertama sebesar Rp1,15 miliar pada Jumat (8/8/2025) malam melalui Bank Jabar Banten.
Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (PUSTAKA), Dian Suryana, menepis tudingan bahwa penagihan pajak oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang terhadap PT VSM merupakan bentuk pemerasan.
“Pasal 368 KUHP jelas mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk keuntungan pribadi. Sementara penagihan pajak dilakukan dalam kerangka kewenangan fiskal, bukan untuk kepentingan individu. Jadi tidak ada dasar hukum menyebutnya pemerasan,” tegas Dian, Kamis (25/9).
Ia menyebut, sejak Juli 2024 PT VSM sudah mengantongi Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB). Dengan adanya izin tersebut, perusahaan sah beroperasi dan otomatis wajib membayar pajak daerah.
“Kalau sudah punya izin resmi, kewajiban pajak melekat. Tidak bisa ketika ditagih lantas disebut pemerasan. Apalagi surat penagihan dari Bapenda jelas merujuk pada aturan, mulai dari Peraturan Bupati Karawang Nomor 31 Tahun 2024 hingga UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah,” ujarnya.
Dian juga menambahkan, Pemkab Karawang bahkan memberi keringanan berupa skema cicilan agar perusahaan bisa menyesuaikan kondisi usahanya.
“Kalau pajak tidak ditagih, justru berpotensi menimbulkan kebocoran PAD. Dan itu bisa berimplikasi hukum sesuai UU Tipikor,” katanya.
Di sisi lain, praktisi hukum Askun menyoroti persoalan dari sudut pandang berbeda. Ia menekankan bahwa lahan dengan status HGU pada dasarnya hanya diperuntukkan pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan, bukan untuk pertambangan.
“HGU tidak bisa digunakan untuk galian C (tanah urug, pasir, batu, dsb) kecuali ada izin tambahan dari pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN dan Kementerian ESDM. Jika tanpa izin, maka kegiatan itu ilegal,” tegas Askun.
Menurutnya, penarikan pajak oleh pemerintah daerah atas kegiatan galian ilegal berpotensi menimbulkan persoalan hukum baru.
“Pajak MBLB hanya bisa dipungut bila kegiatan galian memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan izin lingkungan. Jika tidak, bukan objek pajak, melainkan objek penindakan hukum,” jelasnya.
Askun merujuk sejumlah regulasi yang berlaku, di antaranya:UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Kabupaten/kota hanya bisa menarik pajak untuk usaha galian legal, UU No. 3 Tahun 2020 (Perubahan UU Minerba): Setiap usaha pertambangan wajib memiliki IUP/IUPK, dan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA): HGU diperuntukkan hanya untuk usaha pertanian, bukan pertambangan.
“Kalau Pemkab tetap memungut pajak dari aktivitas ilegal, seolah-olah pemerintah melegitimasi kegiatan tanpa izin. Yang seharusnya dilakukan adalah penertiban, bukan pemungutan pajak,” tegasnya.
Kedua pandangan ini menempatkan Pemkab Karawang pada posisi dilematis. Di satu sisi, kewajiban pajak daerah harus ditegakkan untuk mencegah kebocoran PAD. Namun di sisi lain, jika aktivitas VSM terbukti melanggar ketentuan izin lahan dan pertambangan, maka kegiatan itu semestinya dihentikan dan ditindak secara hukum.
Polemik pajak dan legalitas galian PT VSM di Karawang ini menegaskan bahwa persoalan fiskal tidak bisa dilepaskan dari kepastian hukum atas izin usaha. Tanpa kepastian tersebut, risiko kebingungan hukum dan konflik di masyarakat semakin besar. (uty)