
radarkarawang.id – Sumur kuno yang dikenal sebagai Sumur Awisan Kutagandok kaya nilai sejarah. Sumur ini bukan sekadar sumber air, melainkan penanda peradaban di Kabupaten Karawang.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang, Obar Subarja, membuka fakta bahwa sumur awisan adalah bukti kearifan lokal. Ia menjelaskan, sumur-sumur ini sangat erat kaitannya dengan sejarah berdirinya suatu permukiman.
Obar Subarja memaparkan bahwa Kutagandok yang kini bagian dari Kecamatan Kutawaluya, merupakan kampung yang sudah ada sejak lama. Menurutnya, kampung yang tua pastilah sangat dekat dengan mata air. “Yang gue tau nih, Kutagandok atau Ganok itu termasuk kampung yang udah tua,” ujar Obar Subarja, menegaskan usia wilayah tersebut.
Secara historis, keberadaan desa induk menunjukkan wilayah itu sudah berpenghuni sejak masa lampau. Obar mengatakan, kampung dari zaman dahulu selalu dekat dengan sumber air. Ia menambahkan bahwa mata air bisa didapat dari sumber alami atau mata air buatan yang digali.
Mata air buatan yang digali inilah yang kemudian disebut sumur gali. Obar Subarja menjelaskan bahwa pencarian air ini memiliki ilmunya sendiri, walau belum didukung ilmu geologi.
“Setelah digali itu ternyata ke dalam beberapa meter itu muncul air,” ceritanya, menjelaskan teknik tradisional menemukan sumber air.
Setelah mata air ditemukan, sumur akan diperkuat dengan dilingkari batu bata hingga ke permukaan. Obar Subarja mengingat masa kecilnya saat menyaksikan penggalian sumur. Ia menceritakan bahwa air sumur digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, karena fasilitas mandi dan buang air masih sangat terbatas.
Ia kemudian menjelaskan asal-usul Sumur Awisan. Nama itu merujuk pada sumur yang banyak dikunjungi dan digunakan masyarakat secara kolektif. Ia mengatakan, “Kalau sudah ada kata-kata awisan berarti sumur yang banyak dikunjungi orang, karena banyak air, airnya bisa untuk minum,” ucapnya.
Obar Subarja juga menghubungkan sumur awisan dengan situs bersejarah di Karawang. Ia mencontohkan sumur awisan yang ditemukan di sekitar kawasan Candi Jiwa. Ia mengatakan bahwa sumur di kawasan candi dulunya difungsikan untuk bersuci atau ritual.
Pria yang akrab disapa Bapak ini menjelaskan bahwa air sumur yang dipakai bersama biasanya memiliki kualitas bagus. Ia mengungkapkan, “Kalau air itu biasanya semakin banyak yang ambil, itu semakin cakep airnya dan terus-terusan,” ujarnya.
Prinsip ini menunjukkan kearifan dalam mengelola sumber daya air.
Secara ilmiah, sumur awisan selalu ada di kampung-kampung tua karena menjadi cadangan air utama. Obar Subarja menjelaskan, secara ilmiah, biasanya kampung-kampung tua di mana pun itu selalu ada yang namanya sumur awisan. “Sumur ini berfungsi sebagai sumber air yang dipakai beramai-ramai,” paparnya.
Mengenai waktu berdirinya, Obar Subarja menduga sumur awisan di Kutagandok dibuat berbarengan dengan berdirinya kampung tersebut.
“Pokoknya Sumur Awisan itu dibuat kejadiannya hampir sama pada saat berdirinya itu kampung. Ini menunjukkan sumur adalah kebutuhan pokok pertama,” terangnya.
Tradisi menempatkan sumur di luar rumah juga umum pada masa lalu untuk memudahkan akses seluruh warga. Obar Subarja menyebutkan bahwa dulunya sumur dan kamar mandi umumnya ditempatkan di luar. Kebiasaan ini berbeda dengan gaya hidup modern saat ini.
Bahkan, fungsi sumur sebagai tempat bersuci diterapkan di pusat ibadah. Ia mencontohkan, di Masjid Agung Karawang, dulunya belum ada fasilitas keran modern.
“Dulu kan belum ada kranisasi, pasti itu sumur,” katanya. Air sumur itulah yang ditimba untuk kebutuhan berwudu.
Obar menegaskan bahwa di mana pun sebuah perkampungan berdiri, keberadaan sumber air adalah kebutuhan yang sangat pokok. Ia menambahkan bahwa hampir setiap kampung pasti memiliki sumur karena keperluan dasar minum dan bersuci. (uty)