
radarkarawang.id — Di tengah kuatnya arus gawai dan media sosial yang kian menyita perhatian anak-anak, Kabupaten Karawang mencoba menjaga ruang bagi kegiatan membaca, menulis, dan berkarya melalui Festival Lomba Literasi Sekolah 2025. Bukan sekadar seremonial tahunan, gelaran ini menjadi barometer nyata sejauh mana sekolah mampu menghidupkan budaya literasi di tengah tantangan zaman.
Ketua Tim Penggerak Literasi Kaca Geulis Karawang, Sambas, menegaskan bahwa festival ini merupakan kelanjutan dari kerja literasi yang berlangsung sepanjang tahun bukan acara yang tiba-tiba muncul saat lomba.
“Anak-anak yang tampil di sini sudah terbiasa berlatih di sekolah. Jadi bukan sekadar datang, tampil, lalu pulang. Mereka adalah hasil proses panjang,” ujarnya.
Tahun ini terdapat 222 peserta dari jenjang SD dan SMP. Mereka bertanding dalam tiga cabang: cipta puisi, mendongeng, dan speed contest. Setiap peserta mewakili kecamatan setelah melalui seleksi awal.
Menurut Sambas, lomba hanyalah pintu masuk. Inti besarnya adalah mendorong anak-anak menjadi pembaca yang memahami, penulis yang berani mencoba, dan pembicara yang percaya diri.
“Kami ingin literasi tidak berhenti pada slogan. Anak-anak harus mampu memahami informasi, memilah yang benar, dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Ketua Pelaksana festival, Prima Danu Astri Susanti, memotret realitas bahwa anak-anak hari ini hidup dalam pusaran teknologi dan informasi yang serba cepat. Karena itu tema tahun ini, ‘Membentuk Siswa Cerdas dan Berkarakter Melalui Literasi’, sengaja dipilih untuk mengingatkan pentingnya karakter di tengah modernitas.
“Anak-anak kita mudah terdistraksi. Banyak informasi yang tidak terfilter. Dengan literasi, kami ingin mengarahkan mereka kembali pada nilai yang lebih jernih,” kata Prima.
Salah satu lomba, Gembacita Nusantara, mengajak peserta kembali menyusuri legenda-legenda Nusantara sebagai sumber nilai moral. Adapun lomba pidato Bahasa Inggris membawa tema “My Dream for Indonesia”, agar siswa sadar mereka adalah bagian dari masa depan bangsa.
Berbeda dari kegiatan seremonial, festival ini melibatkan proses panjang. Tim Kaca Geulis merancang konsep sejak sebulan sebelumnya, mulai dari gagasan, alur acara, hingga mekanisme seleksi. Tantangan terbesar justru pada tahap sosialisasi.
“Karawang luas. Tidak semua informasi sampai ke sekolah. Untungnya jaringan anggota Kaca Geulis yang berasal dari berbagai profesi membantu memastikan siswa dari semua wilayah mendapat kesempatan yang sama,” kata Prima.
Sejak Kaca Geulis berdiri pada 2016 dan mulai mendapat dukungan penuh Pemkab Karawang sejak 2018, gerakan literasi di Karawang tidak lagi berbasis seremonial. Ia tumbuh di sekolah dan instansi pemerintah, dengan berbagai bentuk literasi mulai dari baca-tulis, numerasi, digital, hingga budaya.
Sambas menegaskan bahwa literasi yang sejati bukan hanya tentang buku, tetapi cara pandang dalam mencerna informasi.
“Masyarakat yang literat tidak mudah percaya pada isu yang tidak jelas, tidak gampang terprovokasi, dan mampu mengolah informasi secara kritis,” tuturnya.
Dinas Pendidikan memberikan piala, sertifikat, hingga hadiah bagi para juara. Menariknya, seluruh biaya pendaftaran ditanggung APBD sehingga tidak ada hambatan ekonomi bagi sekolah untuk berpartisipasi.
Prima berharap setelah festival, semangat literasi tidak berhenti pada panggung lomba.
“Kami ingin guru dan sekolah terus menghidupkan kegiatan literasi. Dari membaca rutin, berdiskusi, sampai membangun keberanian siswa tampil. Literasi adalah proses jangka panjang,” tutupnya. (uty)



