Uncategorized

Kampung Budaya Sepi Kegiatan Kebudayaan

TIDAK TERURUS: Salah satu tempat di Kampung Budaya yang rusak, ditumbuhi tanaman liar.

Ditumbuhi Ilalang, Banyak Tanaman Liar

TELUKJAMBE TIMUR, RAKA – Kampung Budaya yang didirikan tahun 2014 dengan tujuan awalnya sebagai sentra kebudayaan bagi masyarakat Karawang, kondisinya sangat mengkhawatirkan.

Beberapa bangunan seperti gedung pertemuan, toilet, outlet, nampak rusak dan sama sekali tidak bisa digunakan. Sebagian memang masih terawat karena kerap dipergunakan seperti musala, aula indoor dan outdoor, dan rumah makan. Bahkan, pengelola Kampung Budaya, Awang mengatakan kondisinya seperti hutan lindung. “Ini vila ada delapan, yang dua sudah rusak, kelihatan kan bambunya sudah turun,” ucapnya saat ditemui di saung sekretariat di kawasan tersebut, Minggu (12/1).

Ia memperhatikan kebanyakan pengunjung yang datang hanya sekadar untuk berolahraga atau bersantai semata. “Ya lihat saja, kan kelihatan jadi kalau sentra kebudayaan kan otomatis tiap malam ada yang latihan,” ujarnya.

Awang menuturkan, hal tersebut terjadi karena sulitnya akses menuju Kampung Budaya jika menggunakan kendaraan umum. Dicontohkannya, angkot yang melintas hanya sampai pukul 20.00 WIB. Hal tersebut membuat beberapa sanggar kesenian enggan melakukan kegiatan di Kampung Budaya. “Dan mayoritas sanggar-sanggar itu jauh, yang di Adiarsa, yang di Klari, Sanggabuana, jadi mereka awalnya di sini cuma akhirnya kembali lagi ke sanggar mereka,” paparnya.

Alasan beberapa pengunjung yang datang ke Kampung Budaya di akhir pekan mempunyai jawaban yang relatif sama, bukan karena adanya kegiatan kebudayaan melainkan karena suasananya yang sejuk dan teduh. Dari sini mungkin bisa sedikit mengamini apa yang dikatakan Awang, bahwa kampung Budaya sudah menjadi hutan lindung. Rumput, ilalang, dan tanaman liar yang tumbuh subur, kolam yang ditutupi tanaman air serta ranting-ranting yang berjatuhan, jalan dengan guguran daun yang berserakan dan tanpa penerangan, itulah yang dapat digambarkan betapa kurang terawatnya aset Kabupaten Karawang tersebut. Mengenai hal itu. Awang mengaku sebenarnya dia dan timnya rajin membersihkan. Namun lima orang petugas kebersihan yang memang dirasa tidak cukup untuk dapat bekerja maksimal. “Setiap orang ada zona tugasnya, sebenarnya anak-anak tuh gak betahan kalau kotor jadi pengen langsung bersih-bersih, cuma ya kadang bensinnya yang gak ada,” ungkapnya.

Awang sendiri tidak tahu-menahu besaran anggaran yang dialokasikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk perawatan Kampung Budaya. Sejauh ini dia hanya sekadar menerima dana perawatan yang kadang tak menentu. Semua hal yang mesti diperbaiki diakuinya telah dilaporkan kepada Disbudpar, namun nyatanya saat ini belum ada realisasi. “Pertama kali ditanya jawabnya sabar, ditanya kedua kali jawabnya sabar juga, ditanya ketiga kalinya gak dijawab,” ucapnya.

Untuk merawat Kampung Budaya, Awang kerap merugi karena beberapa kali mengandalkan kocek pribadinya. Untungnya dia tidak begitu mempemasalahkan selagi bisa makan dari tangkapan ikan di kolam, atau tanaman-tanaman di Kampung Budaya yang rutin juga dia berikan ke kantor Disbudpar. Selain itu, untuk operasional perawatan dia juga mengandalkan uang pemberian dari pengunjung yang menggelar acara. “Gak cukup, banyak yang dibutuhkan itu, ya sapu, ya sarana buat rumah apa sih, kan mayoritas dari bambu, harusnya yang di sana ngerti,” pungkasnya. (cr5)

Related Articles

Back to top button