HEADLINEKarawang

Tak Ada Pentas, Jualan Cilok

Gita Andini

KARAWANG, RAKA – Hajatan bukan semata sebuah perayaan bagi orang yang sedang menikah atau acara lainnya saja, lebih dari itu hajatan adalah ladang menyambung hidup bagi banyak orang yang terlibat di dalamnya. Sebut saja pemilik tenda, penata panggung, penyedia sound system, organ tunggal, biduan dan penari serta banyak lagi.

Ketua Keluaga Besar Marawis Karawang Is Irfan mengaku rindu dengan suasana hajatan. Pandemi corona sangat berdampak pada para penabuh alat musik yang lekat dengan nuansa islami ini. Banyak agenda yang telah terjadwal sejak jauh hari namun akhirnya dibatalkan dan ladang nafkah mereka pun terkubur begitu saja. “Dari marawis semua total gak ada panggungan, istri saya sampai dagang cilok, awalnya enggak saat ini saja,” keluhnya, disela menghadiri hajatan para seniman Karawang di depan kantor Pemkab Karawang, Kamis (18/6).

Irfan menuturkan, pada bulan Juni ini saja ada 16 agenda yang dibatalkan. Bukan hanya grup marawis miliknya, namun juga grup marawis lain di Karawang yang jumlahnya tak kurang dari 70 grup. Setiap grupnya rata-rata terdiri dari 12 sampai 15 personil. Dalam sebulan mereka biasanya dapat pentas di 10 panggung, namun saat ini sekadar latihan saja pun tidak bisa dilakukan.

Pria yang juga seorang ustad yang mengisi hari-harinya dengan mengajar ngaji ini melanjutkan, di samping itu tentunya ia juga membantu sang istri untuk berjualan cilok. Ia sendiri sebetulnya ingin mencoba pekerjaan lain meskipun itu kerja kasar. Namun statusnya sebagai tokoh masyarakat membuat orang-orang segan untuk memperkerjakannya. “Kita minta kepada Allah SWT untuk membukakan jalan terbaik bagi para pekerja seni Karawang, khususnya yang islami seperti kami, dan kepada pemerintahan berita baik agar kita semua bisa dahar deui di nu hajat,” harapnya.

Nasib sama juga dialami oleh Gita Andini, penata rias pengantin ini mengaku tak bisa melakukan pekerjaannya semenjak Kapolri melarang adanya kerumunan massa termasuk resepsi pernikahan pada 19 Maret lalu. Sejauh ini ia pun mengikuti imbauan pemerintah meskipun dampaknya sangat dirasakan oleh orang-orang yang terlibat dalam resepsi pernikahan. “Betul-betul terpukul ya kalau orang-orang WO (wedding organizer), bukan hanya perias tapi semua unsur pekerja seni wedding itu semua kehilangan pekerjaan,” terangnya, yang juga ketua Paguyuban WO Sangga Buana Karawang.

Gita mengatakan banyak pekerja seni yang sementara waktu terpaksa beralih pekerjaan meskipun bukan pada bidangnya. Ia sendiri untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya mau tak mau berjualan kue ataupun ikan. Di Karawang sendiri sedikitnya ada 600 WO yang tercatat di paguyubannya. “Kami semua pada punya karyawan yanh harus menghidupi keluarganya, paling sedikit ada 8 orang, sebetulnya kami menyerap tenaga kerja membantu pemerintah mengurangi karyawan, sekarang jangankan karyawannya, kitanya saja nganggur,” tuturnya panjang.

Dalam sebulan biasanya ada sekitar 10 sampai 15 panggung yang menyewa jasanya. Ia berharap ruang kreatifitas mereka dibuka lagi dan bisa beraktifitas sebagaimana biasanya. “Dan kami juga mengikuti peraturan pemerintah dalam cara-cara new normal, di resepsi pernikahan ada protokol kesehatannya seperti apa,” pungkasnya. (din)

Related Articles

Back to top button