BAHAS RAPERDA BURUH MIGRAN: Anggota DPRD, aktivis, Imigrasi, Disnakertrans sedang membahas raperda tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Karawang.
KARAWANG, RAKA – Persoalan buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia tidak berhenti menimpa warga Karawang yang bekerja di luar negeri. Terakhir adalah warga Dusun Ciwaru I, Desa Srikamulyan, Kecamatan Tirtajaya, Fadilah Bandi Amir yang dikabarkan bunuh diri di Arab Saudi.
Agar hal yang menyakitkan itu tidak terjadi lagi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karawang telah membentuk panitia khusus (pansus) rancangan peraturan daerah (raperda) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran asal daerah Kabupaten Karawang.
Yayasan Salman Karawag yang sejak 2014 aktif dalam layanan sosial kemasyarakatan menyambut positif upaya tersebut. “Kami mengapresiasi teman-teman DPRD dan inisiator raperda ini,” ungkap Ketua Harian Yayasan Salman Karawang Wiharti Ade Permana, Senin (6/7).
Wiharti menyampaikan, dengan adanya raperda ini terutama jika nantinya disahkan, diharapkan jadi momentum bagi Pemkab Karawang untuk lebih memberi perhatian dan perlindungan bagi para pekerja migran dari Karawang. Sejauh ini, ia sendiri menilai Pemkab Karawang kurang aktif dalam mengatasi persoalan perlindungan pekerja migran. Menurutnya Pemkab Karawang baru bersikap responsif jika suatu kasus telah menjadi sorotan banyak orang.
Ia juga berharap kedepannya pemerintah desa (pemdes) juga dapat lebih dilibatkan dalam memberikan perlindungan pekerja migran. Hal ini mengingat permasalahan pekerja migran ini juga terjadi mulai dari bawah, dimana pemerintah desa tidak memiliki data mobilitas warganya yang ke luar negeri. Masalah lainnya yang cukup fatal adalah kerap terjadi pemalsuan dokumen oleh aparatur desa, bahkan tak jarang oknum perangkat desa yang merangkap menjadi calo pekerja migran. Selain itu tidak tersedianya informasi migrasi aman oleh pemdes juga menjadi permasalahan. “Saya pernah lihat kok di depan mata saya sendiri (perangkat desa terlibat dengan sponsor dalam penyaluran pekerja migran),” ungkapnya.
Perlunya keterlibatan pemdes juga mengingat mereka sangat dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Seyogyanya pemdes bisa menjadi sumber informasi akurat yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Di samping itu, adanya dana desa juga dapat mendukung program perlindungan pekerja migran oleh pemdes. Tidak dipungkiri hal ini nantinya akan menemui banyak tantangan dalam penerapannya, namun setidaknya upaya ini juga menjadi peluang untuk mengikis kaki tangan swasta yang selama ini lebih banyak berperan dalam perekrutan pekerja migran.
Lebih lanjut ia juga menyoroti tajuk raperda yakni “Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Asal Daerah Kabupaten Karawang”. Mengenai redaksi perlindungan memang sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun soal menyisipkan “penempatan” pekerja migran untuk diatur pula dalam raperda tersebut menurutnya tidak mempunyai dasar. Peraturan tentang penempatan pekerja migran cukup merujuk pada peraturan pemerintah mengenai hal itu. “Pada undang-undang saja cuma perlindungan, tidak ada itu mencantumkan penempatan,” terangnya.
Selain itu, ia juga berharap perda ini nantinya dapat melindungi semua pekerja migran, baik itu yang prosedural maupun tidak prosedural. Dikatakannya, saat ini jumlah pekerja migran cenderung lebih banyak yang tidak prosedural atau tanpa dokumen. Sebab itu akan sia-sia jika perda tersebut nantinya hanya memberi perlindungan bagi pekerja migran resmi. “Karena yang namanya hak asasi manusia (HAM) itu kan untuk semua orang, mereka pun yang jadi pekerja migran tidak resmi bisa jadi karena ketidaktahuan mereka,” pungkasnya.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan, maladministrasi dalam proses penempatan pekerja migran terjadi di banyak tahap. Itu bermula sejak perekrutan yang menggunakan data palsu. Hal ini memudahkan terjadinya perdagangan manusia. Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, maladministrasi atau pelanggaran yang lazim terjadi pada tahap rekrutmen adalah pemalsuan kelengkapan data, misalnya, umur dan alamat. “Dalam proses rekrutmen itu akan sangat menentukan, seseorang itu bisa jadi korban perdagangan orang atau tidak,” ujarnya. (din)