HEADLINEKARAWANG

846 Ribu Warga Karawang Miskin

HIDUP MISKIN: Pasangan suami istri warga Desa Kertasari, Kecamatan Rengasdengklok, hidup dalam keadaan miskin.

KARAWANG, RAKA – Hidup di daerah berupah minimal tertinggi se-Indonesia, belum tentu membuat warga Karawang sejahtera. Mereka yang berkutat di lingkaran kemiskinan pun jumlahnya cukup banyak. Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada Januari 2020, tercatat 846.807 jiwa berkategori miskin. Penyebarannya pun bervariatif. Untuk Kecamatan Karawang Barat dan Karawang Timur, jumlah warga miskin mencapai 86.267 orang. Endang (52) misalnya. Warga Kampung Anjun, Desa Karawang Kulon, Karawang Barat, mengaku selama ini belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah daerah, baik itu berupa beras atau Program Keluarga Harapan (PKH). Padahal dia memiliki anak yang masih sekolah.
“Baru dapat bantuan corona saja dua kali dari gubernur, itu yang paket di dalamnya ada mie, beras ada juga masker,” jelasnya kepada Radar Karawang.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) Yudi Helfi mengatakan, dari segi keilmuan banyak teori tentang kemiskinan, salah satunya ialah kemiskinan strukural. Dalam teori ini kemiskinan seseorang bukan sebab malas dan tidak mau berusaha, melainkan sebab situasi dari luar dirinya dimana ia sulit untuk keluar dari kemiskinan. “Contohnya anak orang miskin cenderung akan miskin juga,” terangnya kepada Radar Karawang, Minggu (9/8).

Ia menyampaikan, keluarga miskin tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya dalam berbagai aspek. Aspek kesehatan misalnya, orang tua tidak bisa menyediakan nutrisi yang cukup untuk anaknya. Sang anak akan tumbuh dengan kebutuhan gizi dan nutrisi yang kurang, dan pada akhirnya mempengaruhi kemampuan belajarnya. Kondisi-kondisi seperti ini nantinya juga akan berpengaruh pada kehidupannya kelak.

Melihat aspek pendidikan, anak dari keluarga miskin juga sulit mengakses pendidikan yang lebih layak. Biasanya mereka akan bersekolah di sekolah standar atua bahkan juga sama sekali tidak sekolah. Jikapun ia sekolah, ia tidak bisa mendapatkan sarana prasarana pendidikan yang baik, atau pendidikan tambahan sebagaimana didapatkan oleh anak dari keluarga berkecukupan. “Otomatis nanti kemampuannya lebih rendah, ketika ia harus berkompetisi dia akan kalah. Misalnya anak keluarga miskin tidak les bahasa Inggris, sementara anak keluarga kaya les bahasa inggris, ya seperti itulah logikanya,” tuturnya.

Aspek sosial juga membedakan antara anak dari keluarga miskin dengan anak dari keluarga kaya. Ia mencontohkan anak bupati akan lebih dekat dan mudah mengakses pada sumber-sumber ekonomi. Orang dari keluarga kaya biasanya lebih dipandang dan mendapatkan hak istimewa di masyarakat. “Bukan berarti kita membeda-bedakan manusia, tapi ya begitu kultur, yang membuat akses itu berbeda,” jelasnya.

Meski demikian, anak dari keluarga miskin bukan berarti sama sekali tidak bisa keluar dari kemiskinannya. Boleh jadi ia bisa mengalami mobilitas vertikal jika mendapatkan akses saat dia mendapatkan faktor pengungkit. Faktor pengungkit inilah yang akan membawanya pada strata sosial yang lebih tinggi. Misalnya relasi yang mempunyai lingkup sosial lebih besar, sehingga ia pun masuk ke dalamnya dan mendapat akses lebih besar.

Faktor pengungkit ini bisa juga hadir dengan adanya intervensi negara. Contohnya adalah jaminan akses pendidikan bagi keluarga miskin. Meskipun pada kenyataanya intervensi negara juga tidak bisa 100 persen mengeluarkan masyarakat dari kemisikinannya. “Tetap sebaiknya pemerintah mengoptimalkan intervensinya untuk mengentaskan kemiskinan,” ujarnya. (din/mra)

Related Articles

Back to top button