KARAWANG

Hamil di Atas 35 Tahun Berisiko

dr. Nita Theresia Reyne

Berpotensi Lahirkan Anak Down Syndrome

KARAWANG, RAKA- Down Syndrome (DS) atau adalah suatu kelainan genetik terkait kromosom 21. Pada umumnya setiap kromosom berpasangan, namun pada kasus down syndrome penyandang mempunyai kromosom 21 ekstra (trisomi-21).
“Dari perwajahan juga sudah dapat dilihat, kalaupun untuk memastikannya juga pemeriksaan genetik sudah mudah,” terang dr. Nita Theresia Reyne, Sp.KFR., M.Kes, dokter Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Hermina Karawang.

Secara fisik gejala down syndrome terlihat dari sudut mata luar yang tertarik keatas, jarak kedua mata yang menjauh, serta wajah yang cenderung datar. Dalam beberapa kasus bahkan iris mata nampak biru. Penyandang DS juga cenderung memiliki leher serta postur tubuh yang lebih pendek. Mereka juga memiliki tubuh yang lebih lentur karena komposisi ligamen yang berbeda daripada umumnya. Kondisi ini pada akhirnya membuat anak DS sulit beridiri dan gangguan bicara karena ligamen pada rahang yang kurang mengikat.

Kelainan genetik penyandang down syndrome bukan hanya berpengaruh pertumbuhan fisik melainkan juga pada perkembangan anak. Sebab itulah anak DS mempunyai parameter masa tumbuh kembang terdendiri yang berbeda dengan anak pada umumnya. Hal ini sebab kognisi anak DS cenderung mempunyai IQ pada kategori borderline (70-79) atau di bawahnya. Target pencapaian tumbuh kembang anak DS adalah setidaknya mereka bisa merawat diri sendiri, tidak membahayakan orang lain dan tidak membahayakan dirinya. “Dan kalau bisa setidaknya mampu menghitung uang,” ujarnya.

Sampai saat ini belum dapat diketahui pasti faktor resiko yang menyebabkan kelainan kromosom tersebut. Meski demikian, dr. Nita menyampaikan kontribusi terbesar adalah faktor kehamilan pada usia terlalu tua di atas 35 tahun. Namun bukan berarti tidak ada DS pada anak dari ibu hamil di bawah usia 35 tahun meski kasusnya sedikit. Faktor resiko adalah adanya penyandang DS di keluarga besar baik dari silsilah keturunan ayah maupun ibu sekalipun generasi yang jauh. Faktor ketiga adalah jika sang ibu sebelumnya punya riwayat melahirkan anak dengan kondisi DS. “Yang saat ini berusaha kita “kontrol” adalah usia ibu hamil di atas 35 tahun, dokter kandungan pasti akan lebih intens,” ucapnya.

Selain itu, ibu hamil yang pernah melahirkan anak DS juga mendapat perhatian lebih serta konseling mengingat resiko tinggi kembali melahirkan anak DS. Namun sayangnya banyak ibu yang tertutup dan enggan menceritakan riwayat tersebut. Sebaiknya para ibu hamil lebih terbuka kepada dokter dan lebih waspada bahwa ia memiliki resiko melahirkan anak DS.

Orang tua yang memiliki anak DS sudah semestinya mengetahui parameter capain tumbuh kembang anaknya yang spesial. Keluhan awal yang disampaikan orang tua kepada dokter tentang kondisi anaknya biasanya adalah anak kesulitan untuk berjalan, maka anak tersebut akan diberi alat bantu sepatu (ankle boots). Namun lebih penting dari itu para dokter juga akan meyampaikan segala kemungkinan apa yang akan dihadapi sang anak dan orang tua di masa mendatang. “Bahkan sampai mereka akil balig, salah satunya adalah kemungkinan adanya kasus pelecehan seksual, karena dengan kondisi kognitif demikian mereka judment-nya kurang baik, mereka tidak paham sedang dilecehkan,” tuturnya.

Sebab itu anak DS bukan hanya tanggungjawab orang tua melainkan juga keluarga terutama saudara kandungnya. Sebaiknya sejak kecil saudara kandung anak DS diberi pemahaman bahwa kelak merekalah yang bertanggung jawab merawat anak DS tersebut. Namun sentimentil orang masih saja ditemui, atau ada pula konflik keluarga, hal-hal seperti ini yang menghambat perhatian terhadap tumbuh kembang anak DS. “Saya menyarankan orang tua untuk ikut asosiasi, itu ada komunitasnya, di Karawang belum ada tapi kan bisa dicari, secara online juga bisa, jadi bisa saling ngobrol, saling menguatkan, dan saling sharing tips dan trik merawa anaknya,” ujarnya lagi.

Dalam penanganan anak DS pada umumnya dokter disertai oleh sejumlah terapis. Dr. Nita sendiri dalam menangani anak DS di RS Hermina dibantu oleh terapis fisik (fisioterapi), terapis okupasi, dan nantinya akan dibantu pula oleh terapis wicara. Namun peran orang tua dan keluarga adalah yang paling utama sebab sebagian besar waktu dilalui di rumah. Ia berpesan agar orang tua tidak terkukung sikap denial melainkan sebaiknya segera mencari bantuan agar sang anak bisa tumbuh dan berkembang lebih baik. Libatkanlah keluarga seluruhnya dan lingkungan sosial sebaiknya belajar menerima bentuk yang berbeda dalam tumbuh kembang anak. “Dulu mungkin disabilitas dapat perlakuan yang berbeda, mereka memang perlu adaptasi, mereka mungki mendapat perlakua khusus tapi dalam hal mendapatkan hidup yang layak,” pesannya. (din)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button