Sekretaris DP3A Kabupaten Karawang, Amid Mulyana
KARAWANG, RAKA – Ada pekerjaan rumah besar bagi bupati dan wakil bupati terpilih nanti. Kabupaten Karawang belum aman dari kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa), dari bulan Januari hingga November 2020, telah terjadi 41 kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Pangkal Perjuangan. Jumlah tersebut terbanyak keenam di Jawa Barat.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Karawang melalui sekretarisnya Amid Mulyana membenarkan data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dikeluarkan oleh Kemenpppa. Data tersebut merupakan hasil rekapitulasi tiap kabupaten/kota yang tercatat pada aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). “Khusus untuk Kabupaten Karawang angka tersebut adalah angka kekerasan yang tercatat P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), berdasarkan data tersebut kecenderungan ada peningkatan dari tahun sebelumnya,” terangnya, Sabtu (21/11).
Amid mengatakan, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Karawang yang tercatat di P2TP2A, di satu sisi merupakan bentuk kepedulian masyarakat khususnya korban untuk berani melaporkan kekerasan yang terjadi. Selama korban dan keluarga cenderung tidak berani melapor karena dihantui rasa takut dan malu. Adapun berdasarkan data laporan jenis,
Amid juga membeberkan macam-macam kekerasan yang kerap terjadi, diantaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), rebutan hak asuh anak, kekerasan seksual, dan penyimpangan seksual kepada anak. Mengenai kekerasan dan penyimpangan seksual, berdasarkan pengakuan pelaku, kata Amid, tindakan disebabkan dampak dari menonton film dewasa melalui internet, handphone dan akibat pergaulan bebas.
Pihaknya menyadari kekerasan kepada perempuan anak yang cenderung semakin marak. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Upaya ini juga tengah dilakukan dan akan terus dilakukan melalui sosialisasi tentang pencegahan kekerasan tersebut. “Melalui sosialisasi ini diharapkan masyarakat bisa mengantisipasi akan kekerasan kepada anggota keluarganya,” ucapnya.
Meski demikian, Amid tak menampik adanya sejumlah kendala yang dihadapi DP3A Karawang, yakni terbatasnya anggaran yang sangat mendesak. Di samping itu, ketersediaan tenaga psikolog juga menjadi kendala tersendiri. Saat ini DP3A baru memiliki satu psikolog berstatus PNS. Sejauh ini mereka dibantu para psikolog yang tergabung dalam relawan P2TP2A Karawang untuk kepentingan penanganan kasus dan pendampingan kepada korban. “Terkait dengan anggaran untuk sosialisasi dan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terbatas, salah satunya untuk biaya visum korban kekerasan. Insya Allah untuk kedepannya akan kita alokasikan,” pungkasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Cempaka Putrie Dimala menyampaikan, faktor ekonomi-sosial memang kerap menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Status sosial ekonomi rendah dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. “Sepertinya ini alasan klasik, hanya saja ini memang nyata adanya terjadi di masyarakat kita,” terangnya.
Himpitan ekonomi dan beban tekanan sosial memicu stres. Pada umumnya seseorang ketika mengalami stres cenderung akan melampiaskannya, atau biasa disebut katarsis emosi. Sebagian orang mampu menyalurkan emosinya dengan cara yang tepat sesuai dengan strategi coping stress yang tepat. Namun sayangnya, adapula yang tidak mampu menyalurkannya dengan tepat. Pasangan yang cerewet atau anak yang rewel dijadikan peluang oleh seseorang untuk melampiaskan stres, sehingga terjadi kekerasan domestik dalam rumah tangga.
Bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi pada sebuah keluarga dengan ekonomi-sosial tinggi. Banyak faktor yang menjadi pemicu, namun pada umumnya terkait kesalahan komunikasi antara pasangan suami istri. Cempaka menyampaikan, masyarakat kita kerap mensteorotipkan peran gender. Misalnya, urusan pengasuhan dan urusan domestik adalah tanggung jawab istri, sedangkan urusan keuangan dan nafkah adalah tanggung jawab suami. Padahal peran gender tida bisa digeneralkan.
Pada kenyataannya ada saja peran dan tanggung jawab yang berbeda antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Dengan demikian perlu ditentukan pola komunikasi yang sesuai dengan karakter rumah tangga itu sendiri. Komunikasi dua arah pasangan suami istri memperkecil terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Tapi kalau komunikasinya satu arah, dimana semua beban dibebankan hanya pada salah satu peran, contoh semua urusan rumah tangga mulai dari mengasuh, membereskan rumah itu dibebankan kepada istri, sedangkan suami tidak ikut andil, tentu setiap istri itu bebannya berbeda,” jelasnya.
Praktisi Informasi dan Teknologi (IT) Nina Sulistiyowati, mengingatkan orang tua mesti khawatir akan dampak negatif bagi anak-anak sebab penggunaan gawai yang berlebihan. Konten yang salah dari game atau tontonan pada gawai akan membuat perubahan perilaku anak ke arah negatif. Bukan hanya itu, anak-anak pun rentan menjadi korban predator seksual di dunia maya. “Pilih program pendidikan yang bermutu, usahakan orang tua ikut menonton saat anak menggunakan gawai,” ucap Nina.
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) ini menyampaikan semestinya orang tua tak hanya memberikan gawai begitu saja kepada anak, melainkan mengawasinya dengan seksama. Ia menyadari memang tidak semua orang tua memahami penggunaan gawai, namun setidaknya mereka harus ada keinginan belajar memahami penggunaan gawai, terutama sejumlah sosial media yang populer. Hal ini guna mencegah anak-anak menjadi sasaran predator seksual di sosial media. “Orangtua atau keluarga wajib mengetahui dengan siapa anaknya berteman dan berkomunikasi di sosial media,” tuturnya yang juga menjadi relawan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Internet memang memberi kemudahan seseorang untuk mencari apapun di dalamnya, sayangnya hal ini tak terkecuali konten pornografi, yang bahkan saat ini anak-anak usia sekolah dasar bisa dengan mudah mengaksesnya. Sebab itu orangtua mesti rutin memeriksa riwayat konten yang ia akses baik itu di youtube, video streaming, atau riwayat penelusuran di perambah dan lainnya. Jangan lupa untuk mengedukasi anak tentang apa yang boleh ditonton dan apa yang mesti dihindari.
Nina melanjutkan, orangtua harus mulai waspada saat ada perubahan perilaku pada anak. Ia mengungkapkan kerap terjadi pelecehan seksual terhadap anak melalui sosial media. Sejumlah kasus yang pernah ia temui adalah para predator ini mengirim konten berbau pornografi kepada anak. Parahnya, pada kasus lainnya sang anak diajak untuk melakukan panggilan video (video call) dan pelaku melakukan pornoaksi, bahkan korban dipaksa melakukan hal serupa.
Kapolres Karawang AKBP Rama Samtama mengatakan, dari 41 kasus, sudah terselesaikan sebanyak 32 kasus. “Sudah terselesaikan 32 kasus,” ujarnya. Kasat Reskrim Polres Karawang AKP Oliestha Ageng Wicaksana menambahkan, berdasarkan laporan per bulan, kasus kekerasan anak dan perempuan cukup tinggi. “Datanya ada di kantor. Tapi memang kalau dari LP per bulan termasuk cukup tinggi,” katanya.
Ditanyakan mengenai penerapan hukum kebiri di Karawang kepada pelaku kejahatan sesksual terhadap anak, Oliestha menjelaskan jika pihaknya bertugas sebagai penyelidik dan penyidik dalam penanganan kasus.
“Terkait penerapan hukum mungkin lebih tepat kalau ditanyakan ke legislator,” ujarnya.
Sampai berita ini diturunkan, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Karawang Asep Syarifudin belum memberikan tanggapan mengenai persoalan kekerasan terhadap anak dan perempuan, meski sudah dihubungi melalui ponselnya. (din/nce)