HEADLINEKARAWANG

Pemilih Tua Lebih Pragmatis

KARAWANG, RAKA – Dalam satu hari kedepan, warga Karawang akan menentukan pilihan. Apakah akan memiliki bupati baru, atau sang petahana tetap kokoh mendominasi perolehan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) tanggal 9 Desember 2020. Semuanya ditentukan di bilik suara.

Dalam perhelatan demokrasi lima tahunan tersebut, bayang-bayang politik uang masih kental. Namun, ada perbedaan cara pandang pemilih tua dan muda dalam menghadapi para pelaku politik uang.

Seorang pemuda asal Kecamatan Purwasari berinisial R (30) mengaku akan mengambil uang pemberian calon bupati jika nominalnya lebih dari Rp50 ribu. Meski demikian, dia tidak ada keinginan untuk memilih alias golput. Sebab menurutnya para calon terlalu banyak janji dan hanya berbual belaka.

Hal sama juga diutarakan Hn (25). Dia menyarankan untuk mencoblos calon yang memiliki uang banyak. Karena untuk bekerja di pabrik saja harus bayar dulu. Apalagi ini menjadi kepala daerah. “Tapi kalau enggak ada yang ngasih mah, lebih baik golput,” tuturnya.

Sementara itu, W (22), gadis yang tinggal di Telagasari ini juga mengaku akan mengambil uang dari calon, namun tetap memilih sesuai pilihannya sejak awal. “Ya namanya dikasih uang, kebanyakan pasti orang mau,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan oleh BJ (23), mahasiswa yang tinggal di Cikampek ini juga akan menerima jika ada calon bupati yang memberi uang dengan nominal yang menurutnya cukup besar. Meski demikian, ia belum tentu memilih calon tersebut, sebab menurutnya uang yang diberi bukan jaminan untuk menjadikan pemerintahan Karawang lebih baik. “Justru berpotensi sebaliknya, calon pemimpin yang dalam proses pemenangan kontestasi politiknya saja sudah berani melanggar aturan, akan lebih berpotensi melakukan lebih banyak pelanggaran ketika ia menjabat,” tuturnya yang sampai saat ini belum memiliki pilihan pasti calon bupati, yang akan dicoblosnya 9 Desember nanti.

Pemuda lainnya, Senita Indah Maulani (20) mengatakan, telah memiliki pilihan calon bupati sesuai hati nuraninya. Mahasiswi yang menempuh pendidikan di Jakarta ini memastikan diri akan ikut berpartisipasi dalam pilkada 2020. Ia juga memastikan diri tidak menerima uang dari calon manapun. “Karena itu termasuk money politic, kalau dari pandangan saya, kalau saya pribadi mau jujur soal pemilihannya,” ujarnya.

Begitupun dengan Dewi Murni (20), gadis asal Cilebar ini akan memilih sesuai dengan hati nurani. Ia juga sudah punya pilihan siapa yang menurutnya pantas menjadi bupati dan wakil bupati Karawang lima tahun kedepan. Mengenai politik uang, dengan tegas ia menolaknya. Baginya, satu suara yang menentukan masa depan Karawang tidak bisa dibeli semudah itu. “Karena nasib Karawang harganya lebih mahal daripada hanya sekadar uang suapan,” singkatnya.

Beda halnya dengan F (36), warga Kecamatan Kotabaru ini mengaku akan memberikan suaranya kepada calon yang memberinya sejumlah uang. “Pasti nyoblos sama yang ngasih uang,” ujarnya.

Begitu pun dengan N (40), uang menjadi garansi pilihannya akan berlabuh kemana. “Nyobloslah pasti. Kalau ada yang ngasih uang ya dipilih,” ujarnya.
Sama halnya dengan M (57), dia memastikan akan menunaikan hak konstitusionalnya pada hari pencoblosan. Dan pilihannya akan jatuh pada calon yang memberinya uang. “Pasti nyoblos, tidak akan golput. Kalau ada yang ngasih uang, ya dipilih yang ngasihnya,” tuturnya.

S (53) ibu rumah tangga mengaku lebih bersemangat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) jika ada yang memberinya sejumlah uang. “Kalau ada yang ngasih uang ya nyoblos. Kalau gak ada, gimana nanti saja,” ungkapnya.

Sedangkan WT (25) masih warga Kotabaru mengaku sudah memiliki pilihan. Dia tidak akan bergeming meski diberi sejumlah uang. “Rezeki itu mah, ambil saja. Nyoblos mah gimana nanti, hati nurani,” tuturnya.
Aktivis mahasiswa, Ahmad Noor Hakiki mengatakan, jika ada yang memberi uang untuk dipilih, sebaiknya masyarakat menolak hal tersebut. “Soalnya kalau diterima dan dipilih, itu sama saja seperti menanam bibit korupsi jika dia terpilih dan menjabat nanti,” tuturnya.

Hal serupa dikatakan aktivis lainnya, Sopyadi Pamungkas. Menurutnya, jangan memilih calon bupati yang memberi uang. “Saya tidak memilih calonnya. Uangnya pun saya tolak, sebagai bentuk sosialisasi saya terhadap si calo tersebut. Dan sedikit memberikan edukasi bahwa hal yang dilakukannya itu melanggar aturan,” ujarnya. (rok/mra/din/nce)

Related Articles

Back to top button