CERITA-cerita ini begitu menggelora. Kisah tentang ibu dan segala pernik kehidupannya di tengah wabah corona. Bagaimanapun, kehidupan setiap ibu berbeda. Nikmatilah dan jalani. Selamat Hari Ibu untuk perempuan-perempuan tangguh di tengah pandemi. Dan ini cerita tentang Anda, para ibu….
Seorang ibu mesti tinggal di ruang isolasi RSUD Karawang meskipun ia sehat, bahkan hasil tes swabnya menunjukan negatif Covid-19. Hal tersebut ia lakukan demi menemani buah hatinya yang dinyatakan positif Covid-19, dan mesti menjalani perawatan isolasi.
Ibu tersebut adalah Puan (bukan nama sebenarnya). Ibu dari gadis kecil berusia 18 bulan sekaligus tenaga kesehatan di Kecamatan Banyusari, yang selama pandemi ini menjadi garda terdepan melawan Covid-19. Kamis, 30 Oktober hingga 9 November lalu, menemani sang anak menjalani isolasi di RSUD Karawang.
Puan bercerita, sang anak awalnya mengalami demam selama tiga hari dan tak kunjung turun. Hasil uji laboratorium di salah satu rumah sakit mengarah kepada gejala demam berdarah. Sang anak pun menjalani tes rapid sebagai prosedur sebelum menjalani rawat inap di rumah sakit, dan hasilnya ternyata reaktif. “Karena saya panik, karena tahu DBD dan hasil lab-nya jelek, ya sudah langsung swab saja disitu agar cepat ditangani,” ceritanya kepada Radar Karawang.
Puan dan gadisnya pun pulang ke rumah untuk isolasi mandiri sambil menunggu hasil swab. Beberapa hari kemudian sang anak dinyatakan konfirmasi positif Covid-19. Esoknya mereka menuju RSUD Karawang dengan mobil ambulans puskesmas setempat. “Saya sendiri yang menggendong anak ke puskesmas, karena di kampung yang namanya Covid-19 masih tabu, jadi saya yang nyamperin puskesmas,” tuturnya.
Sebagai seorang ibu, awalnya Puan merasa kaget dan sempat tak percaya sang anak positif Covid-19. Terlebih sebagai tenaga medis yang rentan terpapar, ia betul-betul menerapkan protokol kesehatan dan sangat protektif terhadap buah hati satu-satunya itu. “Pas tahu hasilnya seperti ini saya kaget juga, ini (penularan) darimana, apalagi di Karawang sendiri setahu saya (pasien Covid-19) orang dewasa semua,” ungkapnya.
Tak ada kata yang betul-betul mengungkapkan kerisauan yang dialaminya. Yang jelas naluri keibuannya berkata kenapa tidak dirinya saja yang positif Covid-19, kenapa juga mesti sang anak. Namun ia sadari takdir memang telah digariskan demikian, apapun kondisinya ia tetap menemani sang anak. Rasa takut terapapar selama di rumah sakit tentu saja ada, tapi ia meyakini virus tersebut tidak akan menularkan dari anak kepada orangtua. Selama mengasuh anak, Puan mengenakan APD dan baju pelindung serupa gaun, jika mengenakan APD lengkap hazmat sang anak malah akan merasa takut. “Kalau urusan tertular atau tidaknya itu urusan belakangan, yang penting saya nyembuhin dulu dia,” ungkapnya.
Yang lebih ia khawatirkan ketimbang dirinya adalah kondisi sang anak, terlebih saat itu mereka menempati ruangan yang sama dengan pasien dewasa. Puan lebih protektif terhadap sang anak, mulai dari menjaga buah hatinya agar tak turun dari kasur, selalu mencuci tangannya, dan menjaga asupan nutrisinya. Dalam pikirannya, ia selalu meyakini gadis kecilnya itu sehat. Hal inilah yang menjadi pijakannya agar sang anak bisa segera pulang.
Sepulang dari RSUD Karawang, buah hatinya tetap mesti menjalani isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Hal ini menjadi PR tersendiri baginya, beda halnya dengan di rumah sakit yang dalam pengawasan sejumlah dokter ahli. Baginya hal ini terasa lebih berat, sebab gadis kecilnya takut menghadapi orang atau mendengar suara keras, karena terlalu lama di dalam rumah dan kurang berinteraksi. “Beban psikisnya itu lebih tinggi, bagaimana ngebalikin dia jadi pede lagi, mau keluar lagi, berani menghadapi orang. Sampai sekarang pun dia masih bertahap,” ceritanya.
Rina khawatir kondisi psikis anak seperti ini memilki dampak lanjutan, terlebih sang anak saat ini sedang dalam masa tumbuh kembang. Malah sang anak kerap lari ketakutan saat melihat tenaga medis mengenakan hazmat di televisi. Tak ayal Puan sedikit trauma dengan Covid-19, dan tak jarang ikut merasa parno bertemu dengan orang atau teman sebaya anaknya. Namun ia melawan trauma tersebut demi tumbuh kembang sang anak. “Pelan-pelan saya ajak main dia, saya undang juga teman sebayanya untuk main, ajak ngobrol, kebetulan dia juga dalam fase belajar berbicara,” tuturnya.
Sebagai ibu sekaligus pekerja, hikmah yang ia ambil dari pengalamannya ini adalah memiliki waktu luang yang lebih bersama sang anak. Kedekatan emosional pasangan ibu dan anak ini lebih terjalin, ia juga merasakan betul dimana sang anak betul-betul membutuhkan kehadiran dirinya. Pengalaman ini juga lebih mendekatkannya kepada Sang Pencipta.
Ia berpesan kepada para ibu, bahwa di mata anak-anak mereka adalah sosok pahlawan yang bisa menolong. Sebab itu jika kondisi serupa dialami ibu lainnya di luar sana, ia berharap para ibu untuk tidak takut menghadapinya demi kesehatan anak. Ia juga berpesan agar tetap menjaga kesehatan diri dan keluarga. “Dan yang terpenting kita sebagai seorang ibu harus kuat apapun cobaan yang terjadi, perempuan itu harus kuat apapun yang terjadi,” pesannya. (din)