KARAWANG, RAKA - Keberadaan guru honor di Kabupaten Karawang sangat vital. Jumlah mereka mayoritas, tersebar di seluruh sekolah dasar dan menengah negeri. Namun, keberadaan mereka kerap dilupakan. Itu bisa dilihat dari upah yang mereka terima tidak sebanding dengan jasa yang diberikan kepada peserta didik. Padahal, peran dan fungsi serta kewajibannya sama dengan guru berstatus PNS. Guru honorer di SMP Negeri 6 Karawang Barat, Yanto mengatakan, dia memperoleh bantuan dari pemerintah selain dari gaji yang diperoleh. Meski bergaji kurang dari UMR, dia merasa bersyukur. "Gaji saya di bawah dua juta rupiah. Tapi tetap bersyukur," tuturnya. Hal serupa dilakukan oleh guru SMPN 2 Karawang Barat, Madraya. Untuk menambah penghasilan, dia membuka usaha sampingan. Namun tidak bisa berjalan sejak siswa diliburkan karena wabah corona. "Kalau sebelum corona istri jualan di sekolah. Kalau sekarang jualan juga tidak," ucapnya. Upah lebih kecil diterima oleh para guru honor yang mengabdi di sekolah dasar. Ahmad Nahrowi, guru honor SDN Wancimekar 1 mengatakan, meski sudah mengabdi selama sembilan tahun, namun upah yang didapatkan masih jauh dari kesejahteraan guru honor. "Jelas belum sejahtera untuk para guru honorer, sebab honor yang saya terima sebasar Rp450 ribu per bulan. Itu pun sudah naik, pas awal saya ngajar hanya menerima sebasar 250 ribu per bulan," tuturnya. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karawang Asep Junaedi menuturkan, keberadaan guru PNS di setiap sekolah belum merata dan setiap sekolah mengalami kekurangan. "Di Karawang masih sangat kekurangan guru PNS," ucapnya. Jumlah kebutuhan guru PNS untuk tingkat SD seharusnya 6.000 guru. Tapi, kurangnya jumlah guru PNS tidak berdampak terhadap proses pembelajaran di sekolah. "Kan ada guru honorer jadi tidak berdampak terhadap proses pembelajaran," tuturnya. Kepala Bidang Pendidikan SMP Disdikpora Karawang Sopandi menambahkan, Karawang memiliki 89 SMP negeri. Keberadaan jumlah guru PNS dirasa sangat kekurangan. Dari 89 sekolah itu diperkirakan jumlah guru PNS nya hanya tinggal 30 persen lagi. Sedangkan 70 persennya guru honorer. "Iya pasti kurang. Di SMP satu atap PNS nya hanya kepala sekolah saja. Itu jumlah sekolahnya ada 14," jelasnya. Kepala SMPN 3 Karawang Timur Abdul Karim mengaku, di sekolahnya hanya ada 4 guru PNS termasuk dirinya. Sementara untuk guru honorer sebanyak 29 orang. Hal itu tentu menjadi kendala bagi pihak sekolah. Selain terhadap kompetensi guru karena tidak sesuai mata pelajaran, kesulitan juga dirasakan karena banyaknya beban anggaran yang harus dikeluarkan untuk menggaji guru honorer. "Dana BOS sebagian besar untuk menggaji guru honorer. Idealnya satu mata pelajaran itu satu guru PNS," ungkapnya. Kepala Bidang Pengadaan dan Pemberhentian ASN BKPSDM Karawang Taopik Maulana mengatakan, sampai bulan Juni 2020, jumlah tenaga pengajar PNS di Karawang tercatat sebanyak 5.698. Idealnya Karawang memiliki 10.000 guru PNS. "Penambahan seharusnya kurang lebih empat ribu guru lagi," tambahnya. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengungkapkan data bahwa mayoritas pendidik di Indonesia adalah guru honorer. Namun, sayangnya guru honorer masih dianggap sebelah mata. Wasekjen PGRI Dudung Abdul Qadir menyampaikan, saat ini jumlah guru di Tanah Air berjumlah 3.357.935, di antaranya adalah guru ASN 1.607.480 orang dan 1.750.455 guru honorer. Dari jumlah itu, masih banyak guru honorer yang kesulitan untuk masuk dalam data Data Pokok Pendidikan (Dapodik). "Guru honor di daerah itu sulit masuk data Dapodik, guru honor itu dibutuhkan tapi dilupakan, ini nasib guru-guru honor," terang dia dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR RI secara daring, Rabu (16/5). Lalu, kualifikasi ijazah guru honorer yang tidak linier juga menjadi suatu persoalan. Sebab, syarat untuk mendaftar seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang akan dibuka oleh pemerintah adalah harus memiliki ijazah yang linier. "Masih banyak guru honor yang kualifikasi ijazahnya tidak linier sehingga ketika dibuka tes PPPK, mereka sulit masuk. Pemerintah harus hadir untuk memperjuangkan mereka supaya linier ijazahnya," imbuhnya. Kemudian, pembinaan dan pengembangan guru honorer juga tidak begitu diperhatikan. Pemerintah lebih mengembangkan para guru dengan status aparatur sipil negara (ASN). "Lalu belum adanya pemetaan struktur bidang studi secara nasional, sehingga tidak nyata, ini pemetaannya tidak real, Kemendikbudristek harus membuat pemetaan, masalahnya pun adalah kesenjangan keprofesian terjadi," tutup Dudung. (nce/cr6)