Buruh Tani Terancam Punah
KOTABARU, RAKA – Dunia pertanian di Kabupaten Karawang terancam. Pasalnya, pekerjaan sebagai buruh tani mulai ditinggalkan oleh generasi milenial. Bahkan, anak seorang petani pun lebih memilih menjadi kuli pabrik.
Berdasarkan pantauan Radar Karawang, dari sekian banyak petani yang bekerja di sawah, tak ada satupun diantara mereka yang berusia muda. Kebanyakan para petani berusia lebih dari 50 tahun hingga 55 tahun.
Maman (56) seorang buruh tani dari daerah Cilamaya mengatakan, dirinya sudah bekerja sebagai buruh tani sejak masih berusia belasan tahun. Namun, meski usianya yang sudah melebihi 50 tahun, dia masih mampu dan memiliki cukup tenaga untuk mengerjakan aktivitas di sawah.
“Ya saya mah sudah dari kecil kerja di sawah. Makanya sampai sekarang juga tandur, panen manggul juga masih kuat,” katanya kepada Radar Karawang, Minggu (16/12) kemarin.
Ketika ditanya adakah anaknya yang melanjutkan pekerjaannya sebagai petani, dia mengaku tidak ada anaknya yang mau bekerja di sawah.
“Susah anak-anak sekarang mah. Jangankan bekerja di sawah seharian. Disuruh bantu bawain atau nganter saya ke sawah juga gak mau,” ungkapnya.
Sementara, Odih Haryadi, Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan
(POPT) yang bertugas di UPTD Pengelolaan Pertanian Kotabaru mengatakan sangat prihatin. Kondisi itu juga menjadi salah satu hal yang dia pikirkan selama ini. “Saya sangat prihatin memang. Setiap kali saya ke lapangan tidak pernah saya temui petani yang masih muda. Semuanya hampir berusia di atas 50 tahun,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Odih, pertanian merupakan sektor yang penting dalam kehidupan di Indonesia. “Jika saat ini tidak ada generasi petani, bagaimana nasib kita 10 atau 20 tahun yang akan datang,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, meski saat ini pemerintah telah menciptakan beberapa alat berbasis teknologi untuk kegiatan pertanian, namun hal itu bukan solusi.
“Sekarang tidak bisa dipungkiri anak muda sudah tidak ada yang mau bekerja sebagai petani. Padahal kan kita tidak lepas dari nasi, kalau sudah tidak ada petani gimana nanti kita mendapatkan beras,” ujarnya.
Menurutnya generasi petani lebih penting dibanding alat canggih. “Intinya saya juga tidak mau kalau petani sampai punah,” katanya.
Odih menjelaskan, pekerjaan sebagai petani bukan pekerjaan yang hina dan berpenghasilan kecil. Jika semua proses kegiatan bertani sesuai dengan prosedur, dan berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan, maka penghasilan petani bisa lebih besar dibanding bekerja sebagai buruh pabrik. “Apalagi kalau para petani mau mengikuti inovasi-inovasi dari pemerintah terkait aturan dan teknis tanam. Keuntungan akan lebih besar,” ujarnya.
Ia akan membentuk dan membina petani muda di Kecamatan Kotabaru, agar regenerasi petani terjaga. “Itu perlu dilakukan. Saya memang ada rencana untuk membina para petani muda. Saya juga tidak ingin masyarakat lupa jati dirinya, bahwa kebutuhan pokok kita adalah nasi yang dihasilkan dari petani,” pungkasnya. (cr2)