Featured

Pendidikan Karakter di Era Digital

Pendidikan karakter menjadi prioritas utama pemangku kebijakan negara kita dalam memperbaiki tatanan mental bangsa. Bahkan, pemerintah mengeluarkan jargon tentang pendidikan karakter yang tidak saing di telinga kita yaitu “Revolusi Mental”.
Salah satu yang mencemari mental bangsa ini adalah budaya korupsi. Mental sebagai bangsa korupsi seperti sudah melekat. Pemerintah tak ingin generasi penerus menjadi bangsa bermental korupsi dan berakhlak negatif lainnya. Contoh kasus itulah yang melatarbelakangi gaungkannya pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Sebenarnya, pendidikan karakter sudah ada dalam struktur kurukulum kita namun, dahulu hanya di bebankan dalam dua mata pelajaran saja yaitu pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Padahal, karakter itu tak melulu di pengaruhi dalam dua mata pelajaran tersebut. Pembetulan karakter di sekolah bisa melalui pembiasaan yang positif yang diterapkan oleh sekolah. Seperti kegiatan ”Senyum, Salam, Sapa” ,di pagi hari menyambut kedatangan siswa pagi di sekolah.
Pembiasaan sederhana tersebut merupakan pendidikan karakter yang tidak tertuang dalam struktur kurikulum. Dalam kurikulum terbaru kita yaitu kurikulum 2013 revisi, pendidikan karakter menjadi pendidikan prioritas. Pendidikan karakter dalam K-13 diamati dan dicermati melalui jurnal penilaian sikap. Nilai sikap tersebut diamati oleh guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas. Sikap yang diamati adalah sikap spiritual dan sosial.
Penilaian sikap yang diamati meliputi sikap religius, jujur, toleransi, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, demokratis, dan masih banyak lagi. Kemudian, jurnal yang dimiliki oleh guru akan di rangkum oleh wali kelas dan akan di deskripsikan sebagai nilai spiritual dan sosial siswa selama satu semester. Namun, yang menjadi pertanyaan kita bersama, apakah penerapan didikan karakter hanya dibebankan oleh sekolah saja? Jika hanya sekolah saja yang menanggung beban berat ini, mental generasi kita tak 100 persen berevolusi. Karena, lingkungan sekolah hanya berperan setidaknya 50 persen dalam kehidupan generasi kita.
Lalu, siapa yang mempengaruhi 50 persen karakter anak? Jawabannya adalah lingkungan keluarga dan pergaulan generasi digital. Generasi kita saat ini masuk generasi digital. Generasi digital merupakan generasi yang dimulai kurang lebih pada tahun 2014, di mana era komunikasi dan teknologi berkembang pesat. Generasi kita saat ini adalah generasi yang melihat dunia hanya selebar daun kelor. Mereka bisa mendapatkan informasi hanya dengan bermodal kuota dan HP android. Pengawasan itulah yang tidak bisa dilakukan oleh sekolah. Jadi, pendidikan karakter tak melulu di bebankan pada pihak sekolah. Karena kegiatan di luar sekolah bukan menjadi tanggung jawab sekolah melainkan pihak keluarga yang lebih berperan. Pendidikan karakter dipusaran generasi digital saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Jika sekolah sudah berusaha maksimal dalam pendidikan karakter, maka hal tersebut harus diimbangi oleh pihak keluarga. Keluarga harus ikut memonitor anak dalam pergaulan di luar sekolah. Pihak sekolah tak tahu apa yang dilakukan siswa dengan internet ketika mereka berada di lingkungan luar sekolah internet bisa menjadi teman sekaligus musuh. Di era digital ini, generasi muda kita tak hanya bermodal buku dan catatan guru di sekolah untuk belajar. Mereka bisa mendapatkan sumber belajar yang amat luas dan beragam lewat internet. Untuk itu, orang tua dan guru harus membekali dan mengarahkan pada generasi digital ini untuk memanfaatkan internet secara bijak.
Internet bisa menjadi musuh bagi generasi kita. Konten negatif seperti radikalisme, pornografi,dan berita sampah (hoax) adalah contohnya. Karakter digital ini bisa terbentuk akibat seringnya mereka mengakses internet. Konten radikal dan porno bisa membentuk karakter yang menyimpang. Maraknya berita hoax pun bisa mempengaruhi jalan fikiran generasi kita. Peran keluarga di sini amatlah diperlukan. Orang tua harus senantiasa mendampingi dan mengarahkan agar anak anak mereka mengakses internet sesuai dengan umur dan kebutuhan. Hal ini bisa mempengaruhi karakter generasi digital kita adalah media sosial.
Media sosial yang marak saat ini merupakan salah satu tempat favorit para generasi digital berinteraksi sosial. Mereka secara bebas mengekspresikan diri dengan mengunggah foto, vidio bahkan status ke dunia maya. Jika orang tua tak mendampingi, media sosial bisa menjadi bumerang bagi kehidupan si anak. Contoh kasus kegagalan pendidikan karakter adalah bulliying dikalangan generasi kita.
Bulliying tersebut adalah salah satu tindakan yang mencerminkan kegagalan pendidikan karakter di era generasi digital ini. Generasi kita menelan secara mentah apa yang mereka lihat dan dengar. Mereka mencontoh karakter buruk yang sering dipertotonkan di sinetron atau vidio yang bisa di akses secara bebas lewat internet.
Untuk mencegah kegagalan pendidikan karakter tersebut, kolaborasi antarasekolah dan keluarga amatlah diperlukan. Dampak positif yang di dapat jika kolaborasi antara sekolah dan keluarga berjalan dengan baik adalah pendidikan karakter di pusaran digenerasi digital sekarang akan tetap terkendali dan berjalan sebagaimana mestinya. Karakter dengan mental yang baik akan terbangun secara positif. (*)

Putri Syafira
Mahasiswi Universitas Pelita Bangsa Fakultas Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Related Articles

Back to top button