APPOStrap Efektif Minimalisir Dampak Abrasi
KARAWANG, RAKA – Abrasi yang sering terjadi di Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang menimbulkan ide kreatif dari Kelompok Kinerja Masyarakat Pesisir (KKPMP) untuk membangun Alat Pemecah, Peredam Ombak dan Perangkap Sedimentrap (APPOStrap).
Satrio Firdauzi Rojak, Ketua Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Desa Ciparage Pantai Ciparage, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang sebelum melakukan pemasangan APPOStrap, KKPMP melakukan diskusi terlebih dahulu pada tahun 2019. Satu tahun kemudian dari diskusi, mereka melakukan pemasangan alat. Informasi pemasangan diperoleh dari salah satu teman yang berasal dari Tengkolak. Saat pemasangan pertama kali hanya menggunakan ban mobil, namun tidak bertahan lama. “Awalnya kami punya rekan dari tengkolak lalu diperkenalkan di Ciparage Jaya, kemudian musyawarah dan cocok untuk program tahun 2020. Kami menggunakan ban mobil tetapi rusak 50 persen, karena terlalu rapat tidak ada nafas untuk menghantam gelombang,” ujarnya, Senin (26/8).
Alat ini telah digunakan di dua dusun sekaligus dengan panjang 800 meter. Setelah dipasang alat tersebut menimbulkan dampak dengan bertambahnya tanah timbul serta pemukiman warga menjadi aman dari ombak besar. Tidak hanya itu, bibir pantai juga bertambah sepanjang 25 meter ke arah daratan. “Alhamdulillah tanah timbul bertambah dan pemukiman menjadi aman. Dari tahun 2023 juga sudah banyak rumah baru yang dibangun. Waktu tahun 2023 itu bertambah 25 meter dari bibir pantai ke daratan. Kami masih fokus ke APO, karena ada beberapa titik yang belum dibangun. Di titik Pulau Mulya belum dibangun APO,” tambahnya.
Dusun yang terkena abrasi di wilayah tersebut mulai dari Muara 1 dan 2 serta Dusun Mangunkarya, namun untuk Dusun Mangunkarya masih relatif aman dengan adanya bebatuan. Ia melanjutkan untuk alat ini menggunakan ban yang ditambah dengan tali tambang kemudian di ikat di sebilah bambu. Pemilihan menggunakan metode ini melihat dari tekstur tanah yang berasal dari pasir dan pecahan karang. “Ada 3 dusun yang terkena abrasi, tetapi di Dusun Mangunkarya aman karena sudah ada bebatuan. Mangrove juga bagus, bisa menahan juga akarnya. Mangrove harus tekstur tanah lumpur, tetapi di sini justru pasir dan pecahan karang. APO ini menggunakan ban, tambang, dan bambu,” lanjutnya.
Iman Teguh, Penanggung Jawab Program TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) PHE ONWJ (Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java) mengungkapkan untuk kajian awal dilakukan tahun 2020, selanjutnya tahun 2021 metode tersebut mulai diterapkan. Melalui metode ini sedimentasi yang terbawa oleh ombak dapat terperangkap di belakang hingga membentuk daratan baru. Pemasangan dilakukan secara bertahap selama 3 tahun. “Saat itu kita masih memasang masih bentuk segi empat, ternyata cukup efektif karena semua sedimentasi yang dibawa gelombang itu terperangkap di belakangnya sampai membentuk daratan. Dengan posisi seperti itu, kita lanjutkan program setiap tahun secara bertahap sampai 800 meter selama 3 tahun tetapi di tahun 2022 kita modifikasi bentuknya menjadi segitiga karena lebih efektif. Bentuk ini sudah kita patenkan dan aplikasikan di beberapa lokasi,” ungkapnya.
Tim Pertamina PHE ONWJ tidak berhenti begitu saja setalah alat berhasil dipasang, namun masih tetap melakukan penelitian kembali tentang jarak pasang pasak. Penelitian pun dilakukan bersama dengan Institut Teknologi Surabaya (ITS). Hasil dari penelitian ini bertujuan agar mengubah jarak pasak yang akan ditancapkan. “Disini tahun lalu, kita coba lakukan penelitian terkait pemasangan apostrem. Posisi gelombang tinggi, ternyata pemasangan pasak yang dilakukan masyarakat tidak terlalu kuat. Pemasangan substratnya hanya sedalam 2 sampai 3 meter, kemarin kita lakukan analisis penelitian yang bekerjasama dengan ITS terkait efektivitas pemasangan apostrem ini dan kekuatan pasak yang harus dipasang. Ke depan akan ada mofikasi pemasangan pasak. Modifikasi yang akan kita lakukan ke depan itu metode pemancangan pasaknya akan lebih dalam dan kuat karena tanahnya masih labil. Kedalaman 5 meter saja masih lumpur dan goyang. Tidak ada teknologi yang kita gunakan, jadi dilakukan bersama-sama dengan masyarakat tetapi untuk di daerah lain akan menggunakan alat hisap atau tembak pasir supaya pasaknya bisa masuk lebih dalam. Setiap ada program dikerjakan bersama-sama dengan masyarakat, tetapi untuk perawatannya dipantau oleh KKPMP,” jelasnya.
APPOStrap tidak hanya diterapkan di Karawang saja, namun untuk wilayah Subang dan Indramayu pun sudah ada metode ini. Satu kali program membutuhkan sebanyak 10.000 ban untuk menghasilkan 100 meter jarak. Awal pemasangan menggunakan metode segi empat, namun sekarang telah dirubah dengan segitiga. “Kita lakukan juga di Pasir Putih, di Subang di daerah Mayangan, di Indramayu kita lakukan di Balongan, cukup efektif untuk menahan gelombang dan terjadi sedimentasi yang lumayan banyak. Masyarakat melakukan pengumpulan ban, memang tidak gratis dan budget pembeliannya dari program kami.
Satu kali program total 10.000 ban dan menghasilkan untuk yang segi empat bisa 200 meter lalu untuk yang segitiga menghasilkan kurang lebih 100 meter. Saat pasang yang kita amati ketika sudah dilakukan pemasangan apostrem itu terjadi peredaman gelombang yang cukup efektif, gelombang menjadi pecah dan tidak terjadi perubahan arus. Adanya apostrem ini sedimen yang terbawa tidak kembali lagi, biasanya kalau ada perubahan musim akan tergerus kembali. Masyarakat awalnya hanya menggunakan bambu yang pemecah gelombang mengarah memanjang ke arah laut,” paparnya. (nad)