
KARAWANG,RAKA- Di tengah semarak peringatan Hari Kemerdekaan, dengan bendera Merah Putih berkibar di sepanjang Jalan Proklamasi Rengasdengklok, ironi justru tampak di salah satu saksi bisu sejarah bangsa. Bangunan cagar budaya rusak dan tidak terawat.
Bangunan cagar budaya (BCB) bekas Kewedanaan Rengasdengklok ini terlihat rapuh, jauh dari kesan terawat. Kondisi bangunan ini sangat memprihatinkan.
Halaman dipenuhi parkir kendaraan yang semrawut, dinding jebol penuh coretan, jendela rusak dan hilang, lantai papan damparan di ruang tengah lenyap dicuri, hingga sampah berserakan di setiap sudut.
Meski dijaga oleh seorang Juru Pelihara (Jupel), bangunan eks kewedanaan ini tetap tampak terbengkalai. Ahmad Taufik, sang jupel, mengungkapkan bahwa status BCB baru disematkan pada 2024, meski kondisi rusak sudah lama dibiarkan.
Baca Juga : KKN Mahasiswa UBP Pasang Reflektor Jalan di Kertasari
“Kalau jadi cagar budaya baru tahun 2024, tapi memang sudah terbengkalai lama. Karena saya juga tidak selalu bisa menjaga setiap hari, akhirnya banyak dimanfaatkan orang lain untuk hal-hal yang tidak baik,” ujarnya.
Taufik berharap pemerintah segera memberikan perhatian lebih, termasuk memasang pagar pelindung agar bangunan tidak lagi mudah dimasuki orang yang berniat merusak.
“Saya berharap bisa dipagari, biar tidak ada pencurian lagi,” katanya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Karawang, Waya Karmila, mengonfirmasi bahwa pihaknya sudah melaporkan kasus ini kepada pemerintah desa dan kepolisian setempat. “Sudah dilaporkan ke pihak desa dan polsek,” katanya melalui pesan singkat.
Ia juga menegaskan, juru pelihara akan diminta meningkatkan pengawasan.
“Sebetulnya bukan berarti keamanan longgar, tapi mungkin benda seperti papan dianggap tidak bernilai oleh sebagian orang. Bisa saja diambil untuk iseng atau dijadikan barang lain,” ujarnya.
Namun, bagi pemerhati sejarah, pencurian itu tidak bisa dianggap sepele. Yuda Febrian Silitonga, pegiat sejarah sekaligus penulis buku Rengasdengklok Undercover, menilai kasus ini sudah masuk ranah pidana.
“Kabar buruk ini harus disikapi serius. Eks kewedanaan Rengasdengklok sudah menjadi bangunan cagar budaya, berarti memiliki nilai sejarah yang dilindungi undang-undang,” tegasnya.
Yuda merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 66 menegaskan larangan keras mencuri benda cagar budaya dengan ancaman pidana 6 bulan hingga 10 tahun penjara dan/atau denda Rp 250 juta hingga Rp 2,5 miliar. Bahkan, penadah hasil curian bisa dihukum lebih berat, hingga 15 tahun penjara atau denda Rp 10 miliar.
Nonton Juga : IWAN FALS, GARA GARA LAGU DIGELANDANG KE MARKAS TENTARA
“Sayangnya, hingga kini saya tidak melihat ada papan informasi yang menunjukkan bangunan ini sebagai cagar budaya. Padahal sudah ada SK Bupati Karawang Nomor 432/Kep.540-Huk/2023 tertanggal 25 Januari 2024. Tanpa edukasi dan informasi ke masyarakat, sulit berharap mereka bisa ikut menjaga,” tambahnya.
Lebih jauh, Yuda menekankan pentingnya merawat bangunan ini karena memiliki keterkaitan erat dengan peristiwa besar menjelang proklamasi. Menurutnya, setidaknya ada tiga peristiwa kunci yang membentuk Trilogi Revolusi di Rengasdengklok. Pertama, perdebatan antara golongan muda dan tua terkait proklamasi setelah kedatangan Soekarno-Hatta ke markas PETA Rengasdengklok.
Kedua, pengungsian ke rumah Djiaw Kie Song dan mobilisasi pejuang lokal seperti Masrin Hasani yang menyerukan rakyat untuk bersiap merdeka dengan mengibarkan bendera Merah Putih dari kertas wajik. Ketiga, upacara pengibaran bendera di Markas PETA yang kini menjadi Tugu Proklamasi, serta upacara di bekas Kewedanaan Rengasdengklok atas perintah Sudancho Subeno melalui Camat Hadipranoto.
“Sejarah ini adalah identitas Karawang sebagai pangkal perjuangan. Jika bangunan ini dibiarkan rusak, berarti kita membiarkan memori kolektif bangsa ikut hilang,” tutup Yuda.(uty)