
KARAWANG,RAKA – Dapat kado HUT RI, 2.318 guru non ASN antre di BTN untuk cairkan bantuan insentif bagi Guru Tidak Tetap (GTT). Bantuan guru Rp2,1 juta, diterima hanya Rp1,9 juta.
Bantuan ini digelontorkan langsung oleh Presiden RI sebagai “kado terindah” memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Namun, di balik kabar gembira ini, pemandangan antrean panjang sejak 08.00 di bank penyalur memunculkan sorotan tajam.
Baca Juga : Transaksi Gelap di Dinas PUPR
Berdasarkan pantauan di lapangan, sejak pukul 08.00 WIB ribuan guru dan tenaga kependidikan memadati halaman depan yang menjadi area parkir bank. Sebagian duduk di lantai dengan berkas di tangan, ada yang menggendong anak, dan tak sedikit yang terlihat menunggu berjam-jam demi mencairkan dana yang disebut-sebut sebesar Rp 2.100.000 dan diterima 1.964.000.
Kepala Sekolah Islam Dzakra Lebah Madu Karawang, Firga Sudarsi, yang turut mengantre, mengaku datang sesuai jadwal yang tertera dalam pemberitahuan. Namun, sesampainya di lokasi, suasana sudah sesak oleh kerumunan penerima insentif.
“Di era digital seperti ini, pencairan insentif justru kembali ke pola lama yang melelahkan dan merendahkan martabat. Selama ini guru diwajibkan menguasai teknologi untuk Dapodik, raport digital, presensi aplikasi, hingga pelaporan kinerja daring. Tapi, ketika tiba saatnya kami menerima hak, semua kemudahan teknologi itu menghilang,” ujar Firga.
Ia menilai kebijakan teknis ini menimbulkan paradoks. Insentif yang sejatinya menjadi penghormatan justru berpotensi melukai harga diri guru karena prosesnya mengharuskan mereka berdesakan di satu titik, tanpa mempertimbangkan jarak tempuh, waktu tunggu, dan kenyamanan.
Tonton Juga : SUKARNI, SEPAK TERJANG SI PENCULIK SOEKARNO-HATTA
“Kalau memang mau memberikan penghargaan, proses pemberiannya juga harus mencerminkan penghormatan dan ketulusan. Apalagi sekarang hampir semua layanan publik terintegrasi dengan sistem perbankan elektronik. Kenapa tidak ditransfer langsung?” tambahnya.
Firga berharap, momen HUT RI menjadi refleksi bahwa kemerdekaan tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga kemerdekaan dari prosedur yang mempersulit rakyat.
“Guru sebagai pilar peradaban layak menerima haknya dengan cara yang bermartabat, tanpa antre panjang, tanpa menunggu berjam-jam. Penghormatan kepada guru bukan hanya soal apa yang diberikan, tetapi bagaimana cara memberikannya,” tegasnya.
Meski demikian, penyaluran insentif ini tetap disambut hangat para guru sebagai bentuk pengakuan atas dedikasi mereka.
“Ke depan mekanisme pencairan bisa lebih efisien, modern, dan ramah bagi penerima, sehingga benar-benar menjadi kado yang indah tanpa catatan pahit di baliknya,” pungkas Firga. (uty)