Batik Karawang Kalah Saing
KUNJUNGAN KERJA: Anggota Komisi II DPRD Karawang mendatangi kantor Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah. Salah satu persoalan yang dibahas soal batik Karawang yang sulit berkembang.
Harga Mahal, Promosi Minim
KARAWANG, RAKA – Komisi II DPRD Kabupaten Karawang melakukan kunjungan ke Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Karawang. Pada kesempatan tersebut dibahas beberapa hal terkait kegiatan dinas koperasi. Salah satunya mengenai batik Karawang.
Anggota Komisi II Asep Dasuki mengatakan, keberadaan batik Karawang yang dibuat oleh Dinas Koperasi sudah cukup lama. Namun saat ini batik tersebut masih sulit untuk bersaing dengan produk luar. Untuk itu, pihaknya berharap batik tersebut bisa bersaing di pasar. “Dinas Koperasi jangan hanya bisa membuat produk. Tetapi juga harus mampu bersaing di pasar,” kata Asep Dasuki, Rabu (27/11).
Dikatakan Asep Dasuki, persoalan harga dan kurang pahamnya masyarakat terhadap batik juga menjadi salah satu sebab batik Karawang kurang bisa bersaing di pasaran. Batik Karawang yang memiliki ciri khas gambar seikat padi atau ‘pare sagedeng’ sulit bersaing di daerah sendiri. Bahkan cenderung kalah dengan brand batik dari luar daerah lain yang menawarkan harga lebih murah. “Karena belum tentu semua masyarakat tahu tentang batik asli tradisional dengan batik printing. Karena yang dilihat hanya bahan dan corak yang bagus serta harga terjangkau. Makanya harus ada sosialisasi kenapa batik asli tradisional harganya lebih mahal,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretsris Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Karawang Hery Daryanto mengatakan, batik tradisional tidak bisa dibandingkan dengan batik printing. Terlebih pada masalah harga. Batik tradisional memiliki harga yang lebih tinggi karena berbeda proses pembuatannya. “Kalau batik tradisional untuk membuat selembar kain saja butuh waktu beberapa hari. Sementara batik printing bisa mencetak puluhan lebar kain batik hanya dengan hitungan jam,” ujarnya.
Menurutnya, Karawang akan tetap mempertahankan pembuatan batik ‘pare sagedeng’ dengan cara tradional. Karena jika batik tradisional semakin berkurang, hak pengakuan batik Indonesia akan dicabut oleh Unesco. “Yang diakui oleh dunia itu batik dengan pembuatan tradisional. Maka pembuatan batik tradisional harus dipertahankan. Kurang dari 30 persen jumlahnya dicabut,” pungkasnya. (nce)