Bertahan dari Gempuran Perkembangan Teknologi
TELAGASARI, RAKA – Layar tancap sempat berjaya pada era tahun 1980 hingga 1990-an. Layar tancap jadi hiburan rakyat yang murah meriah saat layar televisi masih jarang ada di rumah-rumah warga.
Seiring perkembangan teknologi dan perkembangan televisi, bioskop hingga digital, eksistensi layar tancap semakin menyusut. Namun, para pengusaha yang tergabung dalam Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) Karawang, punya cara sendiri menggugah rasa rindu masyarakat untuk bernostalgia salah satunya dengan pagelaran 20 layar tancap sekaligus di lapangan Kantor Kecamatan Telagasari, Sabtu (16/2) malam. Selain jadi hiburan, pagelaran yang diselenggarakan PLTI ini juga sekaligus peresmian PLTI Karawang.
Abdul Rosyid, Ketua PLTI Karawang mengatakan, berawal dari hobi nonton layar tancap, dirinya minati pelestarian dan pemeliharaan layar tancap agar bisa tetap lestari, tidak punah dan tidak sebatas nama saja. Karena, menonton layar tancap itu bukan sebatas hiburan, tapi mempererat kebersamaan, silaturahmi dan mengasyikan. Komunitas pencinta layar tancap ini cukup banyak, baik dari Telagasari sendiri, juga ada dari Rengasdengklok, Telukjambe, Cilamaya, Klari dan juga Cikampek. Buktinya, sampai saat ini eksistensi layar tancap masih terjaga, dan masih diminati di acara rasulan hajatan warga, walau volumenya tidak sebanyak dahulu. Yang terpenting saat ini, bukan profit atau usaha yang dikedepankan, karena kepuasan tersendiri baginya adalah saat pagelaran layar tancap, banyak penontonnya dan disukai. “Kepuasan kami saat banyak yang nonton walau tanpa keuntungan gede, walaupun boleh dikata layar tancap itu misbar atau gerimis bubar,” kelakarnya.
Satgas PLTI Pusat, Nur Iyan mengatakan, jangan beranggapan bahwa layar tancap tertinggal zaman, buktinya orang masih rindu dengan layar tancapnya maupun dengan judul-judul film tempo dulu. Bahkan, dirinya koleksi film dalam bentuk gulungan rol klise sekitar 700, baik film Indonesia, ada juga film India, Thailand dan Eropa. Dirinya hadir di Karawang ini dalam rangka peresmian PLTI Karawang dan pagelaran puluhan layar tancap ini sudah sering dilakukan diberbagai kabupaten/kota hingga ke Malaysia. Bahkan di tahun 2006, dirinya menancapkan layar 63 buah dalam rangka memeriahkan HUT RI di Istora Senayan Jakarta, di mana layar terkecil ukuran 5 x 10 meter dan terbesar 7 x 12 meter.
Diteruskan pria yang berprofesi sopir angkot ini, sebagian penghasilannya selalu ia himpun untuk membeli film zaman dulu dengan harga Rp3 juta, bahkan alat-alat rol film layar tancap juga ia beli, karena alat seperti Xenon 35 bekas bioskop zaman dulu, dimana alatnya saat ini sudah tidak produksi lagi, tapi ia rawat dan pertahankan, sehingga mulai tahun 2005, dirinya inisiatif menggelar kegiatan layar tancap masal diberbagai daerah, maupun luar negeri. Bahkan sebut Nur Iyan, anggota PLTI saat ini se-Indonesia sudah mencapai 16.000 orang. “Saya mulai kegiatan semacam ini sejak 2005, ada 700 judul yang kita koleksi, berapapun harganya sekarang ini gak bakalan ia jual, kecuali sewa,” ucapnya.
Nur Iyan menambahkan, judul film yang di koleksinya banyak yang dicari, baik oleh pejabat seperti film perjuangan, Surabaya 45, Komando Samber Nyawa dan lainnya, ada pula dari kalangan mahasiswa yang hendak bernostalgia dengan film zaman dulu yang terdapat di novel-novel seperti Petualangan Sherina, Ayat-ayat Cinta hingga Lupus. Mereka sampai datang ke kantornya di Tangerang Selatan. Karena, dalam sewa film 3 judul Rp200 ribu, dimana per judul menghabiskan waktu sekitar 1 – 1,5 jam. “Yang nyewa itu banyak, mulai dari pejabat sampai dengan mahasiswa juga banyak,” tuturnya.
Lebih jauh Nur Iyan menambahkan, untuk pagelaran layar tancap masal 20 layar, baru pertama di gelar di Karawang, dalam satu judul, biasanya menghabiskan 8 – 9 rol, di mana dalam satu rol berdurasi 20 menitan. Biasanya, sambung Iyan, tahapan pemutaran film yang di mulai setelah Isya ini adalah mulai dari horor dan komedi. “Kita putar sesuai tahapan, di mana dalam 1 judul bisa habiskan 9 rol,” pungkasnya.(rud)