Satu Persatu Perusahaan Pindah
KARAWANG, RAKA- Pengusaha mulai merasakan imbas dari tingginya upah buruh, satu persatu perusahaan mulai hengkang ke daerah lain di luar Karawang maupun Jawa Barat. Jika tak ada solusi, bisa berimbas pada meningkatkanya angkat pengangguran.
Setiap tahun Upah Minimum Kabupaten (UMK) selalu mengalami kenaikan. Tahun ini, UMK di Karawang mencapai RpRp4.234.010, ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Belum lagi, ada persoalan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) yang hingga kini belum tuntas. “Yang paling terasa adalah sektor padat karya,” kata Ketua Kadin Karawang Fadludin Damanhuri, pada Radar Karawang, Selasa (30/7).
Bahkan, lanjutnya, saat ini perusahaan sudah mulai melakukan pengurangan karyawan agar menyeimbangkan keuangan. “Sudah mulai adanya efisiensi pengurangan tenaga kerja dibeberapa perusahaan seperti PT Beesco,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Apindo Karawang Syukur mengungkapkan, dampak kenaikan UMSK 2019 diklaim berpengaruh terhadap keberadaan perusahaan dan tenaga kerja di Kabupaten Karawang. Menurutnya, dengan tuntutan UMSK yang tinggi sudah banyak perusahaan yang mengalami kesulitan. Selain itu, dampak dari banyaknya perusahaan yang kolep juga berpengaruh terhadap tenaga kerja. “Banyak perusahaan yang kolep terutama perusahaan tekstil,” ungkapnya.
Tak hanya di Karawang, perusahaan juga banyak yang hengkang di wilayah kabupaten/kota lain di Jawa Barat, hingga saat ini sudah ada 140 perusahaan tutup dan pindah ke daerah lain gara-gara upah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat mencatat dalam 3 tahun terakhir terdapat 21 pabrik pindah dari Jawa Barat, dan 143 pabrik tutup. Dari total 164 pabrik, 48 persen merupakan perusahaan garmen, 21 persen pabrik tekstil, dan sisanya manufaktur lain. “Ada 100-an lebih pabrik yang tutup di Jawa Barat, ada yang pindah juga. Totalnya ada 140-an, antara yang tutup dan pindah. Pindah terbagi ada yang pindah ke provinsi lain, ada yang keluar negeri. Hampir semua, alasan penutupan itu berkaitan dengan upah yang tinggi,” kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, kemarin.
Pria yang akrab disapa Kang Emil ini menuturkan, upah di Jawa Barat bervariasi karena sistem upah Indonesia yang terdesentralisasi pada kepala daerah. Soal sistem upah inilah yang disoroti perwakilan ILO. “Ini yang jadi sorotan mereka, subjektivitas pengupahan ini gap-nya terlalu jauh. Contoh Pangandaran Rp 1,6 juta, kalau tidak salah dengan Karawang Rp 4,2 juta, bisa sampai Rp 2,5 juta bedanya,” tuturnya.
Menurutnya, ILO akan membantu menyiapkan usulan pada pemerintah pusat mengenai sistem pengupahan yang relatif lebih baik. ILO menawarkan usulan agar Indonesia mengelompokkan jenis industri berdasarkan provinsi, lalu daerah masing-masing menawarkan penghitungan sistem kebutuhan layak yang wajar di tiap daerah. “Misalkan Jabar fokus ke manufaktur, Jateng khusus yang tekstil atau apa, itu harus pusat (yang memutuskan). Sehingga nanti industri tidak terlalu beragam. Perbedaan keragaman industri yang mengakibatkan upahnya itu jomplangnya gak pernah selesai,” tambahnya.
Ketua Apindo Jawa Barat Dedy Widjaja mengungkapkan, sistem upah saat ini membuat kinerja usaha tidak efisien. Dia mencontohkan, protes upah setiap tahun lewat unjuk rasa justru sering terjadi di daerah dengan nilai upah yang sudah tinggi seperti di Karawang dan Bekasi. “Daerah dengan upah yang rendah malah hampir tidak pernah unjuk rasa. Mereka mensyukuri ada industri yang datang ke sana,” pungkasnya. (nce/tmp)