radarkarawang.id – Warga Dobolon, Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya berakhir meninggal dunia gegara penyakit TBC yang dideritanya. Dobolan merupan kampung terpencil di wilayah pesisir Karawang. Kampung itu berbatasan antara Desa Sedari dan Desa Pisangan.
Terik matahari Jumat siang, (7/11), menusuk tanpa ampun saat Yati, seorang kader kesehatan, menyalakan motornya. Tujuannya bukan sekadar berkendara, melainkan menyusuri nadi pengabdian Kampung Pisangan, Desa Cemarajaya 3, Kecamatan Cibuaya, salah satu titik terjauh dan tersulit di pesisir utara Karawang.
Ia mengajak seorang wartawan ikut bersamanya, bukan untuk jalan-jalan, melainkan memperlihatkan wajah lain pelayanan kesehatan: wilayah yang terhimpit abrasi, gelap tanpa lampu jalan, dan nyaris luput dari perhatian.
Motor matic yang ditungganginya pelan mulai meninggalkan jalan aspal. Beberapa menit berlalu, permukaan berubah menjadi tanah retak, batu, hingga kubangan lumpur. Aroma asin laut semakin kuat penanda mereka makin mendekat pada bibir pantai yang tiap tahun tergerus abrasi.
“Motor lewat sini gak bisa. Kalau hujan, sudah pasti lumpur semua, jalannya rusak. Di sana makin parah,” ujar Yati, konsentrasi penuh agar roda motornya tidak tergelincir.
Di kanan kiri jalan, pemandangan seolah membisikkan peringatan. Rumah-rumah ambruk tersapu air laut, sementara sebagian lainnya bertahan dengan tembok darurat dari karung pasir dan ban bekas. Malam hari, jalur ini berubah menjadi lorong gelap tanpa lampu penerangan sunyi, rawan, dan terisolir.
“Ini baru Pisangan. Saya pernah dampingi pasien di Dobolan, jauh lebih terpencil. Ada pasien TBC meninggal, jasadnya harus digotong dengan tandu. Ambulans tidak bisa masuk,” tutur Yati lirih, seperti mengingat pertempuran panjang yang tak pernah usai.
Sekitar 20 menit perjalanan, motor berhenti di depan rumah sederhana beratap asbes. Dawen (38) dan Kartono (47), pasangan suami istri, menyambut Yati dengan senyum hangat yang kontras dengan kerasnya jalan menuju rumah mereka.
Yati memperkenalkan mereka sebagai penyintas tuberkulosis (TBC) yang pernah berada di titik terlemah, namun kini bangkit. Meski sudah dinyatakan sembuh, Yati tetap memantau mereka agar tidak terjadi kekambuhan, risiko yang kerap menghantui pasien di daerah minim akses layanan kesehatan.
Kartono mulai bercerita. Nada suaranya tenang, tapi sejarah yang ia tuturkan penuh luka.
“Saya kena duluan, tahun 2021, pas COVID lagi ramai-ramainya. Saya kira awalnya Corona, ternyata TBC,” katanya.
Sebagai terapis pijat, ia bertemu banyak orang setiap hari. Meski bukan perokok, ia tetap terpapar. Dokter puskesmas mengharuskannya menjalani pengobatan 8 bulan dua bulan lebih lama karena ia juga mengidap Diabetes Mellitus.
“Saya sempat hancur. Susah tidur, pikiran buntu, gak enak buat apa pun. Berat badan turun dari 70 kg ke 40 kg. Tinggal tulang,” ucapnya, jeda sejenak.
“Tapi sekarang saya sembuh. Berat badan naik lagi. Saya jadi jauh lebih hati-hati,” sambungnya sambil tersenyum kecil, seperti seseorang yang baru saja keluar dari badai panjang.
Dawen menimpali, suaranya bercampur getir dan syukur.
“Kami hidup di antara ancaman abrasi dan penyakit. Tapi kami kuat, karena masih ada orang seperti Bu Yati yang peduli sama kami,” katanya, menatap ke arah laut yang berjarak hanya puluhan meter dari rumahnya.
Bagi Yati, perjalanan ini bukan sekadar tugas, melainkan panggilan kemanusiaan. Ia paham benar bahwa akses kesehatan yang timpang bisa memutus nyawa lebih cepat daripada penyakit itu sendiri.
“Di sini, motor saja susah, apalagi ambulans. Kalau kami tidak datang, siapa lagi yang memantau kondisi mereka?” ujarnya.
Ia tidak mengenakan seragam, tidak membawa gelar panjang. Hanya tas kecil berisi catatan pasien, obat, dan komitmen untuk tidak membiarkan mereka berjuang sendirian.
Kisah Kartono dan Dawen bukan hanya tentang sembuh dari TBC, tetapi juga tentang bertahan hidup di wilayah yang nyaris terlupakan tempat di mana penyakit, keterbatasan infrastruktur, dan abrasi laut menjadi ujian harian.
Namun di tengah semua itu, ada harapan yang tetap menyala, semangat penyintas yang menolak menyerah, dan keteguhan pendamping seperti Yati, yang membuktikan bahwa pelayanan kesehatan sejati bukan menunggu di gedung puskesmas, melainkan mendatangi mereka yang paling membutuhkan, sejauh apa pun jalannya. (uty)



