Buruh Tani Diganti Mesin
HABISKAN JATAH BURUH TANI: Petani tidak perlu menyewa tenaga buruh tani lagi saat panen. Soalnya, sudah ada mesin pemotong padi. Hadirnya mesin membuat penggunaan tenaga manusia semakin berkurang.
Lapangan Kerja Makin Sempit
TEMPURAN, RAKA – Tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi menjadi salah satu pendukung aktifitas masyarakat secara umum. Namun, apa jadinya jika kecanggihan teknologi tersebut justru malah mengurangi tenaga manusia. Bahkan mempersempit ruang kerja masyarakat.
Kondisi dikeluhkan Wahyudin. Petani asal Tempuran ini memang belum tahu cara kerja mesin berukuran besar yang biasa disebut komben atau combine oleh petani itu. Namun, setelah memperhatikan secara jelas, mesin tersebut sudah tak lagi membutuhkan tenaga manusia dalam memanen padi.
Berbeda dengan mesin rontok yang hanya merontokkan padi dari batangnya, yang masih membutuhkan tenaga manusia untuk ngarit. Artinya, buruh tani masih kebagian kerja. “Lain lagi dengan mesin komben, semua dikerjakan mesin. Terus buruh tani kerja apa?” ujarnya, Jumat (29/11).
Padahal, musim panen merupakan salah satu momen yang bisa diharapkan oleh masyarakat dan para butuh tani. Karena mereka yang menganggur bisa berupaya mencari nafkah. “Kalau sekarang ya tinggal gigit jari,” keluhnya menghela napas.
Di sisi lain, tidak mungkin buruh bisa membeli mesin sebesar itu. Untuk membeli sebilah arit atau sabit saja kerepotan. Sekalipun masih menggunakan tenaga manusia, cuma beberapa, itu pun khusus yang ahli dan perlu pembelajaran terlebih dulu. “Saya akui sekarang zaman teknologi, tapi penerapan di masyarakat kecil itu perlu adaptasi dan perhitungan,” katanya.
Dirinya berharap pemerintah bisa meminimalisir adanya mesin besar jenis komben ini, agar masyarakat paham dan bisa diarahkan. Minimal, menambah lapangan kerja di kampung-kampung. Semisal industri rumahan, atau apapun yang bisa menghasilkan untuk masyarakat. “Sudah mah cari kerja bagi yang punya ijazah aja susah, ditambah buruh taninya ditekan dengan kemajuan teknologi. Yang kaya makin kaya, yang miskin terus bertambah,” keluhnya lagi.
Petani asal Tempuran lainnya, Gugun mengatakan, sekarang tenaga buruh tani mulai tidak dipakai karena digantikan alat semisal combine dan transplanter. “Sekarang siapa yang mampu membeli alat secanggih itu kalau bukan orang kaya? Jadi yang kuli itu ya orang kaya yang akan siap tambah kaya lagi,” katanya.
Ia menyebutkan, alat-alat tersebut memang tidak dibeli seperti traktor, namun kadang alokasi bantunnya tidak tepat sasaran. Misal dari dinas, yang dipastikan dapat juga biasanya orang kaya yang kebetulan punya gapoktan dan kelompok tani, bukan diberikan kepada buruh tani. Kemudian, buruh tani saat hendak melakukan pengolahan, pinjam traktor dinas saja sewanya dibanderol selangit.
Ditambah dengan adanya teknologi yang harganya seharga mobil ini.Dirinya khawatir orang kaya yang akan banyak jadi kuli untuk menambah kekayaannya. “Bukan kita anti teknologi, kedepannya hanya orang kaya saja yang bisa beli atau sewa alat ini,” pungkasnya. (rok)