Derita TKW Karawang di Negeri Asing
Disiksa, Tidak Digaji
KARAWANG, RAKA – Tidak digaji berbulan-bulan, kerap disiksa, bahkan pulang nama, menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Karawang di tanah perantauan. Rata-rata usia mereka masih muda, namun minim pendidikan.
Rosinah misalnya, perempuan asal Jayakerta itu harus menerima pil pahit selama bekerja di Jeddah, Arab Saudi. Selain persoalan gaji yang tidak dibayar selama 12 tahun, dia juga sering disiksa hingga dikurung dalam kamar oleh majikannya.
Lain lagi dengan Wiwin Maryani (28). Dia yang hanya memiliki ijazah SD itu mengaku sudah bertekad untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri. Dia juga sudah mendapatkan izin dari suaminya untuk bekerja di sana. “Sudah diizinkan. Saya ingin bikin rumah tapi ekonomi sulit,” ujarnya.
Nurjanah (37), tenaga kerja wanita (TKW) asal Kampung Bakandukuh, Dusun Rawamacan, Desa Kutaraja, Kecamatan Kutawaluya tidak bisa pulang ke tanah air. Gajinya selama 15 bulan terakhir belum dibayar majikan. Nasman (64), orang tua Nurjanah menuturkan, putrinya sejak 2009 berada di Arab Saudi, pihaknya mengaku kepulangan Nurjanah ke tanah air tesendat karena gaji selama 15 bulan terakhir belum juga dibayar oleh majikannya. Setiap bulan Nurjanah menerima gaji sebesar Rp3,5 juta. “Dulu kontraknya itu cuma 2 tahun, cuma karena gaji selama satu tahun belum dibayar, kemudian diperpanjang, akhirnya sampai 10 tahun ini belum pernah pulang,” jelasnya.
Anggota Garda Buruh Migran Indonesia (BMI) Sabillilah Jauhari mengatakan, kasus TKW bernama Rosinah asal Jayakerta, salah satu dari ribuan TKI yang mengalami hal yang sama. “Pengaduan melalui komunikasi seluler dan video yang dikirimkan sering disiksa selama 12 tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga,” ujarnya.
Kasi Penempatan Dalam dan Luar Negeri Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang I Junaedi pernah mengatakan, faktor sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, selain masyarakat yang memiliki ijazah SD dan SMP. Tak jarang juga ada masyarakat dengan lulusan S1 menginginkan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. “Lulusan kebidanan juga ada,” tuturnya.
Berdasarkan data pada tahun 2019, kata dia, dari 3.514 TKI yang diberangkatkan, 80 persen di antaranya perempuan yang berstatus janda. Jika keberangkatan diurus melalui prosedur yang ada, maka tidak khawatir terjadi kasus yang tidak diinginkan. Sebab sebelumnya ada kontrak kesepakatan dengan PT yang memberangkatkan. Ia juga mengatakan, selain surat izin dari keluarga beserta keterangan dari pemerintah desa, syarat mutlak bagi para calon TKI ialah usia minimal juga harus bisa membaca dan menulis. “Kalau tidak ada izin dari suami atau orang tua, kami tidak merekomendasikan. Syarat mutlak jangan buta huruf,” imbuhnya. (nce/psn)