KARAWANG

Empat Bulan, 76 Kasus KDRT Hingga Cabul

KARAWANG, RAKA – Perempuan dan anak di Kabupaten Karawang masih rawan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), persetubuhan anak, pencabulan, penganiayaan, hingga pornografi. Sejak awal tahun hingga saat ini, tercatat ada 76 kasus yang ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Karawang. Mayoritas adalah kasus persetubuhan atau pencabulan terhadap anak usia 14 hingga 17 tahun.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Karawang Ipda Rita Zahara menyampaikan, dari 76 kasus tersebut diantaranya mengenai KDRT, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, kekerasan fisik terhadap anak, penganiayaan, pornografi, kekerasan seksual terhadap perempuan, dan pemerkosaan. “Kasus masih dalam proses penyelidikan, ada juga yang kasus dalam proses penyidikan dan ada juga yang selesai dengan cara dilakukan musyawarah, atau restoratif justice dan ada juga kasus sudah P21 atau sudah selesai,” ujarnya kepada Radar Karawang, Selasa (9/5).

Ia menambahkan, kasus yang paling sering terjadi yakni persetubuhan atau pencabulan terhadap anak. Korban dan pelaku dalam kasus ini mulai dari usia 14 sampai 17 tahun. “Kasus ini terjadi akibat adanya kasus pacaran di kalangan remaja.
Dan kasus yang paling banyak kita tangani sekarang kasus persetubuhan atau cabul. Mayoritas anak di bawah umur, rentang usia 14-17 tahun,” tambahnya.

Menurutnya, korban yang mengalami kejadian tersebut tidak mengalami gangguan psikis yang parah. Ia tetap berkoordinasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan psikolog untuk memberikan pendampingan bagi seluruh korban.

“Kerjasama dengan P2TP2A untuk pendampingan psikolog. Sampai saat ini gak ada yang sampai parah,” ujarnya.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Cempaka Putrie Dimala menyampaikan, faktor ekonomi-sosial memang kerap menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Status sosial ekonomi rendah dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. “Sepertinya ini alasan klasik, hanya saja ini memang nyata adanya terjadi di masyarakat kita,” terangnya.
Himpitan ekonomi dan beban tekanan sosial memicu stres. Pada umumnya seseorang ketika mengalami stres cenderung akan melampiaskannya, atau biasa disebut katarsis emosi. Sebagian orang mampu menyalurkan emosinya dengan cara yang tepat sesuai dengan strategi coping stress yang tepat. Namun sayangnya, adapula yang tidak mampu menyalurkannya dengan tepat. Pasangan yang cerewet atau anak yang rewel dijadikan peluang oleh seseorang untuk melampiaskan stres, sehingga terjadi kekerasan domestik dalam rumah tangga.
Bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan terjadi pada sebuah keluarga dengan ekonomi-sosial tinggi. Banyak faktor yang menjadi pemicu, namun pada umumnya terkait kesalahan komunikasi antara pasangan suami istri. Cempaka menyampaikan, masyarakat kita kerap mensteorotipkan peran gender. Misalnya, urusan pengasuhan dan urusan domestik adalah tanggung jawab istri, sedangkan urusan keuangan dan nafkah adalah tanggung jawab suami. Padahal peran gender tida bisa digeneralkan.(nad)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button