
PURWAKARTA, RAKA – Di tengah hiruk pikuk kota yang kian padat dan panas, Eni Lestiorini justru memilih jalan sunyi menanam sayuran dengan cara yang nyaris tanpa tanah. Dari halaman rumahnya di Malangnengah Wetan, Kelurahan Nagri Tengah engah, ia mulai merintis hidroponik sejak 2014.
Apa yang awalnya hanya untuk kebutuhan keluarga, kini menjelma gerakan kecil yang memberi warna baru bagi pertanian di Purwakarta.
Baca Juga : Polisi Cegat Delapan Siswa Pasundan Ikut Demo
Kecintaan Eni terhadap pertanian modern lahir dari keresahannya. Ia menilai penggunaan pestisida semprot yang berlebihan telah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan, terutama perempuan dan anak-anak.
“Banyak penyakit berbahaya yang sumbernya ternyata dari makanan sehari-hari yang terpapar bahan kimia,” ujarnya, Kamis (28/8).
Selain faktor kesehatan, perubahan wajah lingkungan perkotaan juga menambah kegelisahannya. Lahan hijau terus menyusut, berganti dengan bangunan. Sementara itu, anak-anak makin asing dengan sayuran.
“Saya prihatin, banyak yang bahkan tidak tahu bentuk kangkung atau bayam. Dari situlah saya ingin kembali mengenalkan mereka pada sayur,” tutur Eni.
Berangkat dari halaman rumah kecil, Eni mulai bereksperimen dengan sistem hidroponik. Perjalanan itu tidak selalu mudah.
Harga peralatan mahal, cibiran lingkungan, hingga kesulitan menjual sayuran sempat menghadang. Namun Eni tidak menyerah. Ia memilih jalan sederhana, rockwool diganti kapas atau busa, nutrisi khusus disubstitusi dengan pupuk yang lebih terjangkau.
Tonton Juga : 3 Kisah Nyata Pembunuhan Berantai Paling Mengerikan di Indonesia
“Tidak perlu takut. Hidroponik bisa dimulai dengan cara sederhana, tidak harus mahal seperti di video-video YouTube,” tegasnya.
Kini, tidak hanya sayuran daun yang ia hasilkan. Dengan sistem tetes, tanaman buah seperti melon, tomat, cabai, hingga cengek juga tumbuh subur. Bahkan metode aquaponik yakni menggabungkan ikan dan tanaman mulai ia kembangkan sebagai solusi ramah lingkungan.
Eni tidak berhenti di ranah edukasi. Ia mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) Binalestari. Di sana, para ibu rumah tangga belajar menanam sekaligus mengelola hasil panen agar bernilai ekonomi.
Konsepnya sederhana, hasil panen dijual, keuntungan dibagi layaknya arisan. Produk olahan seperti simping dan manisan juga diproduksi agar sayuran tidak hanya berhenti di pasar segar.
Bicara tentang masa depan, Eni percaya generasi muda adalah kunci. Menurutnya, petani milenial bukan berarti kembali ke sawah dengan cangkul, melainkan menghadirkan inovasi teknologi pertanian yang lebih efisien dan membuka akses pasar baru.
“Kita masih tertinggal jauh dibanding negara lain dalam hal alat pertanian. Saya berharap anak-anak muda bisa membuat teknologi yang murah, ramah masyarakat, tapi tetap efektif,” harapnya.
Ia pun menekankan pentingnya dukungan pemerintah. Mulai dari subsidi pupuk hingga jaminan pasar bagi hasil panen.
“Kalau di hilir tidak ada pasar, petani akan macet. Tapi kalau ada dukungan nyata, saya yakin pertanian modern di Purwakarta bisa berkembang jadi kekuatan ekonomi sekaligus gaya hidup sehat masyarakat,” tutupnya. (yat)