
Saidah Anwar
KARAWANG, RAKA – Ketimpangan penghasilan sangat jauh berbeda antara buruh pabrik dan guru honorer. Jika upah minimum kabupaten (UMK) buruh bisa sampai Rp4 juta, guru honorer jauh di bawahnya.
Salah seorang tenaga pengajar honorer di salah satu SMK di Karawang mengatakan, gajinya sangat jauh dari UMK. Sebagai tenaga pengajar honorer ia hanya digaji Rp2.040.000 setiap bulannya. Jumlah tersebut tentu sangat jauh dari kata sejahtera. Karena tidak sebanding dengan pengeluaran dan kebutuhan keluarga dalam setiap bulan. “Itu honorer yang dibayar oleh provinsi. Bagaimana dengan honorer murni yang hanya digaji oleh sekolah dan hanya dihitung dari jadwal mengajar? Kalau memang tidak bisa mengangkat honorer jadi PNS, setidaknya honornya UMK lah,” ungkapnya, yang meminta namanya tidak disebutkan kepada Radar Karawang, Minggu (13/10).
Tenaga pengajar honorer lain, Kiki mengatakan, ia mengajar di salah satu SMPN di Karawang dengan honor Rp35 ribu perjam. Dalam satu minggu ia mengajar sebanyak 24 jam. Mengenai wacana honor sesuai UMK memang sudah ia dengar namun belum ada tindak lanjut. “Pernah ada wacana katanya mau UMK. Tapi belum ada tindak lanjut lagi. Gaji berarti 35 ribu X 24 jam dalam seminggu,” ucapnya.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Karawang Fajar Andriansyah mengatakan, kurangnya infrastruktur dan kesejahteraan tenaga pengajar honorer, menyebabkan pendidikan jauh tertinggal. Salah satunya di Kabupaten Karawang. Padahal, Kabupaten Karawang yang terletak diantara dua kota besar yakni Bandung dan Jakarta serta memiliki industri sekitar 1.500 lebih perusahaan. “Namun keberadaan perusahaan industri di Karawang tidak menyebabkan masalah pendidikan bisa teratasi, semua masalah infrastruktur pendidikan, kesejahteraan tenaga pengajar dan pungutan liar yang dilakukan oknum sekolah di Karawang masih menjadi masalah yang sangat krusial,” kata Fajar, kepada Radar Karawang.
Banyaknya ruang kelas yang rusak, kata dia, tentu mengganggu proses belajar mengajar. Selain itu, kesejahteraan guru khususnya honorer juga menjadi masalah yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan. “Banyak guru honorer mendapatkan upah di bawah UMK Kabupaten Karawang, tentu sangat miris sekali Karawang yang menjadi kota industri infrastruktur pendidikan dan kesejahteraan gurunya masih jauh dari kata layak,” ujarnya.
Diakuinya, ada satu terobosan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintahan Cellica-Jimmy yakni beasiswa Karawang Cerdas yang dirasa mampu meningkatkan nilai IPM Kabupaten Karawang. Namun pada tataran implementasinya masih banyak kekurangan. Melihat kondisi tersebut, HMI Cabang Karawang memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah diantaranya, kebijakan politik anggaran pada tahun 2020 untuk anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari jumlah anggaran pada APBD 2020.
Kedua, mengoptimalkan dana CSR untuk pembangunan infrastruktur pendidikan di Kabupaten Karawang, mendorong pemerintah untuk menaikan honorium guru honorer setara dengan PNS golongan II, mendorong pemeritah Kabupaten Karawang membuka lowongan PNS untuk para guru honorer di tiap tahun nya karena saat ini Karawang kekurangan guru PNS. “Itu dari analisa dari kami. Yang paling mendasar ialah honorarium bagi guru honorer dan infrastruktur,” ucapnya.
Saidah Anwar, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Karawang mengatakan, sepakat bahwa kesejahteraan tenaga pengajar memang harus ditingkatkan. Hanya saja untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut perlu melihat kondisi keuangan. Ia mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan sebagai legislatif ialah dengan membuat perda agar kesejahteraan tenaga pengajar lebih diperhatikan. “Iya memang gaji tenaga pengajar honorer jauh dari UMK. Tentunya harus ditingkatkan, tapi harus ditanyakan dulu sama bupati. Kita sudah buat perda tentang guru waktu itu,” pungkasnya. (nce)