Ada 141 Permohonan Dispensasi Nikah Anak
KARAWANG, RAKA – Seperti halnya di daerah lain, setahun terakhir banyak permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA) Karawang. Terutama sejak aturan tentang batas minimal usia menikah direvisi. Berdasar Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/197, usia minimal calon mempelai perempuan direvisi dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Maka, pasangan yang usianya di bawah 19 tahun tidak bisa menikah.
Berdasar data dari website PA Karawang, permohonan dispensasi nikah sebanyak 127 perkara sepanjang 2022. Rinciannya, Desember 3 permintaan, November 11 permintaan, Oktober 10 permintaan, September 11 permintaan, Agustus 18 permintaan, Juli 19 permintaan, Juni 14 permintaan, Mei 11 permintaan, April 4 permintaan, Maret 6 permintaan, Februari 8 permintaan, Januari 12 permintaan. Sedangkan dari awal tahun 2023 hingga 25 Januari tercatat 14 permohonan.
Penelusuran Radar Karawang, terdapat sejumlah faktor yang membuat orang menikah di bawah usia 19 tahun. Faktor-faktor itu mulai dari kondisi ekonomi, pendidikan, hingga urusan lain, seperti faktor-X atau karena lebih dulu hamil. Faktor ekonomi yang muncul pada beberapa kasus yaitu banyaknya anggapan bahwa menikahkan anak akan menjadi jalan keluar akan keterpurukan ekonomi. Ada anggapan orang-orang di desa bahwa anak perempuan yang menikah dini, otomatis akan ikut suaminya, dan urusan ekonomi selesai. Sayangnya, hal itu justru menjadi pemicu bahtera keluarga yang kurang bahagia dan terancam cerai. Penyebab pendidikan yang masih muncul yaitu anak putus sekolah, menjadi pengangguran, dan ingin segera menikah. Faktor ini juga kerap terjadi di tengah masyarakat. Padahal, jika anak mengenyam pendidikan, wajib belajar 12 tahun, maka otomatis akan bisa menikah pada usia 19 tahun atau usia kelulusannya. Namun demikian, faktor-X atau hamil duluan menjadi penyebab yang sulit diberantas. Di sinilah solusi dan langkah untuk menekan angka nikah muda diperlukan. Apakah karena faktor ekonomi, pendidikan, atau karena faktor-X.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Karawang Tajuddin Nur mengatakan, semua unsur mulai dari masyarakat, guru, orang tua, lembaga pendidikan, termasuk institusi pemerintahan ini harus terlibat dalam mengantisipasi terjadinya pernikahan dini. Kata Ama, sebagai orang tua jangan juga terlalu percaya terhadap lembaga pendidikan.
“Apalagi memercayakan kepada guru agama yang waktunya hanya dua jam pelajaran,” ujarnya.
Ama berharap kedepannya tidak ada lagi anak di bawah umur yang melakukan pernikahan dini apalagi dikarenakan keterpaksaan gara-gara hamil di luar nikah.
“Kita semua harus kerjasama untuk mengantisipasi terjadinya hamil di luar nikah ini,” pungkasnya.
Dinas Pendidikan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) membentuk satuan tugas (satgas). Yakni terkait temuan permohonan dispensasi nikah anak di Jabar. ”Fungsinya Dinas Pendidikan, memastikan keberlanjutan pendidikan bagi anak sekolah. Jadi nanti untuk kaitan dengan itu dispensasi pernikahan dini, kan nanti ada satgas di situ, yang diketuai DP3AKB,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Dedi Supandi di Bandung.
Dedi mengatakan, akan berkoordinasi dengan stakeholder terkait seperti DP3AKB Jawa Barat, untuk mengatasi temuan permohonan dispensasi ratusan anak itu. Selama ini, pihak sekolah mengupayakan pendidikan mengenai keluarga, pernikahan, sampai pendidikan seks kepada peserta didik, dalam mencegah hubungan seks di luar nikah yang dapat berakibat kehamilan. ”(Untuk pendidikan seks) sering dilakukan. Kan kaitan dengan misalnya penanganan masalah, bagaimana pemberdayaan perempuan dan perlindungan, di dinas itu ada satgas yang dibentuk yang diketuai DP3AKB,” ujar Dedi.
Dia menuturkan, di Jawa Barat, deteksi dini masalah di dunia pendidikan pun tengah disiapkan, seperti yang dalam waktu dekat pihaknya akan meluncurkan sistem anti-bully di sekolah. Hal itu dilakukan untuk melakukan deteksi dan penanganan dini terhadap berbagai persoalan di sekolah. ”Termasuk dimasukkan yang tadi. Yang kedua kita lakukan pembinaan kaitan dengan sekolah-sekolah toleransi, anti radikalisme, dan anti perundungan juga itu sudah, dan yang ketiganya giatkan pembelajaran siswa dengan ekstrakurikuler yang positif,” papar Dedi. (mra/jp)