Modal Besar Gaji Kecil
KARAWANG, RAKA – Walau berada ditingkat desa, cost politik calon kepala desa (kades) tidaklah sedikit, bahkan ada yang sampai mengganggarkan ratusan juta rupiah hanya untuk satu malam saja jelang pemilihan.
Saat ini, ada 530 calon kepala desa (Kades) yang tersebar di 177 desa 29 kecamatan yang akan berkompetisi. Meski kontestasi di tingkat desa, cost yang diperlukan setiap calon tidaklah sedikit. Bahkan, sampai ada yang menganggarkan lebih dari Rp300 juta untuk biaya ke konstituen. Padahal, jika merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, gaji kepala desa tidaklah besar. Besaran penghasilan tetap Kepala Desa paling sedikit Rp2.426.640 setara dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang II/a.
Kecilnya gaji yang akan diperoleh, tidak mengurangi semangat para calon kades. Mereka rela mengeluarkan uang besar agar dapat terpilih. Meskipun uang yang akan dipergunakan untuk pencalonan, ada yang berasal dari uang pribadi dengan menjual aset yang dimiliki, bahkan ada juga yang menggadaikan sertifikat tanah.”Ada sertifitkat yang saya gadaikan,” kata salah seorang calon kepala desa yang tidak mau disebutkan namanya, Kamis (18/3).
Estimasi anggaran yang diperlukannya, Rp300 juta untuk persiapan akhir pilkades. Nominal tersebut, tidak dihitung dengan biaya yang dikeluarkannya selama dari proses awal pencalonan sampai dengan masa tenang. “Berdasarkan perhitungan tim, saya sudah unggul dengan angka sekitar 3.000 suara. Saya butuh Rp300 jutaan untuk mengamankan angka ini sampai pencoblosan,” terang pria asal Kecamatan Karawang Timur ini.
Biaya pencalonan, sudah mulai dikeluarkan sejak awal, mulaindari persiapan pembuatan APD, sampai memberikan kontribusi membantu memenuhi kebutuhan panitia seperti ATK dan lain-lain. “Saya kira wajar yang namanya nyalonin pasti harus punya uang. Dalam artian untuk persiapan kebutuhan untuk kesuksesan kemenangan kita, dan ini sudah bukan rahasia umum,” tambah salah seorang calon kepala desa di Kecamatan Klari, yang meminta namanya tidak disebutkan.
Diungkapkannya, sampai saat ini dia sudah habis lebih dari Rp100 juta untuk pencalonan. Hanya saja, dia berkomitmen, tidak akan memberikan uang kepada konstituen saat pemilihan nanti. Dia yakin, kemenangan sudah dikantonginya meski tanpa ‘serangan fajar’ berdasarkan bacaan politiknya bersama tim. “Kalau warga sudah percaya kita, uang tidak akan berarti. Saya memang punya uang, tapi untuk serangan fajar tidak akan saya lakukan. Lebih baik uangnya dikasih buat panitia saja. Kalau memang saya ditakdirnya menjadi kepala desa nanti ada uang buat masak-masak lah, itupun hanya bentuk rasa syukur saya saja. Kalau saya kalah ya tetap masak-masak, minimal bisa menghilangkan rasa kaget kalau sampai nanti benar-benar kalah,” ucapnya sambil tertawa.
Sementara itu, salah satu warga Desa Wancimekar, Kecamatan Kotabaru Aep mengaku sudah mengantongi nama calon kades yang akan ia pilih, keyakinannya dalam memilih tersebut tentunya bedasarkan kedekatan serta melihat perjalanannya di dunia pemerintahan. “Kalau penilaian orang sih memang beda-beda, tergantung sudut pandang, tapi saya sudah punya nama calon yang pasti akan saya coblos nanti, istri saya pun mau nyoblos calon itu juga,” tambahnya.
Hal serupa disampaikan oleh Wahyudin. Menurutnya, pilkades tahun 2021 sedikit berbeda, pasalnya kini ia begitu antusias dengan calon yang ia pilih. Sejauh ini ia belum mendapatkan uang dari calon manapun, apabila kedua calon memberikan uang kepadanya, ia akan tetap memilih calon yang sudah ia pilih sejak awal persiapan pilkades dulu. “Saya tetap pilih calon yang menurut saya baik, kalau ngasih amplop ya saya ambil, tapi kalau tidak ngasih juga ya tidak apa-apa,” terangnya.
Sebelumnya, Kasi Tata Pemerintahan Andry Irawan mengingatkan, kepada masyarakat agar memilih seorang pemimpin di desa berdasarkan hati nurani. Menurutnya, terlalu riskan menukarkan manfaat yang bisa didapatkan dalam pembangunan desa selama enam tahun, dengan uang atau sembako yang nilainya tidak seberapa. “Terlalu riskanlah menukar suara kita dengan sembako atau uang semata,” pungkasnya. (mal/asy/nce)