Generasi Emas Namun Cemas: Tantangan dan Keunggulan Gen Z
Di penghujung tahun 2023, Indonesia dihebohkan oleh sejumlah kasus siswa yang mengalami non-suicidal self-injury (NSSI)—perilaku melukai diri sendiri tanpa niat bunuh diri. Fenomena ini melanda berbagai daerah, seperti Gunung Kidul, Magetan, dan Situbondo, dengan mayoritas pelakunya adalah remaja. Mereka mengaku mengenal tindakan ini dari media sosial, yang terkadang menggambarkan NSSI sebagai respons terhadap tekanan emosional.
NSSI hanyalah puncak gunung es dari sekian banyak masalah kesehatan mental yang kini mendera Generasi Z, yang tumbuh di tengah gempuran internet dan media sosial. Jonathan Haidt, psikolog sosial asal Amerika Serikat, dalam bukunya Anxious Generation (2024), menyatakan bahwa media sosial bukan sekadar alat komunikasi. Ia telah bertransformasi menjadi sumber tekanan sosial yang besar, membuat remaja terpapar pada kehidupan orang lain yang tampak sempurna—bahagia, sukses, dan penuh warna—yang sering kali menimbulkan rasa tidak cukup dalam diri mereka. Pendapat ini sejalan dengan Jean Twenge, penulis iGen (2017), yang mengungkap bahwa generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2012 mengalami kecemasan dan depresi yang lebih tinggi. Twenge menegaskan bahwa interaksi sosial yang semakin berkurang berkontribusi pada dampak negatif terhadap kesehatan mental remaja.
Sementara itu, Tina Rosenberg, jurnalis untuk The New York Times pada tahun 2021, mencatat bahwa Gen Z adalah generasi yang sangat sadar akan pentingnya kesehatan mental. Menurutnya, banyak remaja sekarang lebih terbuka dalam membicarakan perasaan mereka dan tidak ragu untuk mencari bantuan. Meski lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi, potensi positif mereka untuk beradaptasi dan mencari solusi menunjukkan harapan dalam mengatasi tantangan yang ada.
Tekanan dari Dunia Maya
Kenaikan penggunaan media sosial menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z, kata Haidt. Dalam dunia maya, mereka menghadapi tekanan sosial yang menciptakan rasa tidak aman serta perbandingan diri yang merugikan. Belum lagi, realitas yang tak menentu—biaya hidup yang tinggi, ketidakstabilan pekerjaan, dan persaingan global—menambah beban mental mereka.
Parahnya, pola asuh orang tua yang overprotektif juga berperan dalam masalah ini. Di satu sisi, orang tua terlalu menjaga anak-anak dari pengalaman di dunia nyata, tetapi di sisi lain, memberikan kebebasan penuh di dunia maya. Hal ini menciptakan kebingungan bagi anak-anak, membuat mereka sulit menghadapi tantangan sosial yang sebenarnya. Akibatnya, perilaku NSSI muncul sebagai salah satu cara untuk melampiaskan stres. Menurut Haidt, anak perempuan lebih rentan dalam menghadapi tekanan ini dibandingkan anak laki-laki, sehingga lebih mudah terjerat dalam perilaku merugikan diri.
Keunggulan yang Dimiliki Gen Z
Di balik berbagai tekanan, Gen Z memiliki sejumlah keunggulan yang dapat menjadi modal mereka dalam menghadapi tantangan ini. Menurut Haidt, generasi ini menunjukkan kesadaran tinggi terhadap isu kesehatan mental. Mereka lebih terbuka untuk mendiskusikan masalah ini dan tidak ragu mencari bantuan profesional, sebuah langkah positif yang mencerminkan keinginan untuk mengatasi masalah dengan cara yang lebih sehat.
Kemampuan adaptasi terhadap teknologi juga menjadi kekuatan utama. Tumbuh dalam era digital, Gen Z mampu memanfaatkan teknologi untuk bekerja, belajar, dan berkarya, memberikan mereka keunggulan dalam menghadapi dunia kerja yang semakin mengandalkan keterampilan digital. Selain itu, kesadaran sosial yang tinggi menjadikan mereka peduli terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim dan keadilan sosial. Keberanian mereka untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini, baik secara online maupun offline, semakin memperkuat posisi mereka.
Pentingnya Kegiatan Fisik dan Komunitas
Haidt menekankan bahwa kegiatan fisik dan keterlibatan dalam komunitas reliji juga sangat penting bagi kesehatan mental remaja. Remaja yang aktif secara fisik cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik, karena aktivitas ini dapat mengurangi stres dan kecemasan. Selain itu, berpartisipasi dalam komunitas reliji memberikan dukungan sosial yang krusial dan membantu mereka membangun identitas yang kuat.
“Ketika remaja terlibat dalam kegiatan komunitas dan berinteraksi dengan orang-orang yang sejalan, mereka merasa lebih terhubung dan memiliki tujuan,” ujar Haidt. Dukungan dari komunitas ini berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik, memfasilitasi mereka untuk mengatasi tantangan hidup.
Solusi Kolektif untuk Mengurangi Tekanan
Untuk mengatasi masalah ini, Haidt menawarkan solusi kolektif yang harus dijalankan oleh berbagai pihak—sekolah, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan profesional kesehatan mental. Solusi yang diajukan mencakup:
1. Larangan penggunaan smartphone sebelum memasuki sekolah menengah.
2. Penggunaan media sosial sebaiknya dibatasi hingga usia 16 tahun.
3. Sekolah tidak memperbolehkan siswa membawa ponsel.
4. Lebih banyak waktu untuk bermain tanpa pengawasan dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mandiri.
Langkah-langkah ini diharapkan mampu mereduksi tekanan yang dialami remaja akibat penggunaan media sosial dan smartphone yang berlebihan.
Harapan untuk Masa Depan
Meskipun Gen Z terjebak dalam beragam tantangan, keunggulan yang dimiliki—kesadaran akan kesehatan mental, kemampuan beradaptasi dengan teknologi, serta pemikiran global—memberikan harapan besar bagi mereka untuk melewati masalah-masalah tersebut. Keterlibatan dalam kegiatan fisik dan komunitas reliji turut memberikan dukungan bagi kesejahteraan mereka.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Gen Z bisa menembus belenggu tekanan mental dan membangun kehidupan yang lebih sehat dan seimbang. Harapan untuk generasi ini terletak pada diri mereka sendiri, tetapi juga pada dukungan masyarakat di sekeliling mereka. Ketika mereka memanfaatkan potensi yang ada, masa depan yang lebih cerah dan sehat bukanlah hal yang mustahil.
Namun, di tengah semua harapan ini, muncul pertanyaan penting: Apakah Indonesia akan meraih tahun emas di 2045 dengan generasi yang bersinar, ataukah justru terjerat dalam bayang-bayang kecemasan yang mengganggu? Waktu terus berjalan, dan upaya untuk membentuk generasi yang lebih kuat dan sehat harus dilakukan secara bersama-sama. Hanya dengan kolaborasi, saling mendukung, dan memanfaatkan potensi yang ada, Indonesia dapat mewujudkan harapan besar menuju masa depan yang gemilang. (*)
*) Ilham Santoso
Penulis adalah penterjemah buku asing