HEADLINE

Kasus Korupsi Kabasarnas Digarap Peradilan Militer

JAKARTA, RAKA – Tak ingin polemik penetapan tersangka Kepala badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi berlarut-larut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD meminta kasus tersebut diselesaikan di peradilan militer.
Polemik penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mencuat setelah TNI menilai KPK telah melampaui kewenangan. Penetapan tersangka anggota TNI aktif seharusnya oleh TNI dan diproses di pengadilan militer.
“Masalah penetapan tersangka Kabasarnas Henri Alfiandi tidak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang, meskipun harus disesalkan. Yang penting kelanjutannya yakni agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya, yakni korupsi,” kata Mahfud kepada wartawan, Minggu (30/7).
Menurut Mahfud, seharusnya lebih kepada fokus pengusutan kasus korupsinya. Mengingat, KPK juga sudah mengaku khilaf secara prosedural.
Mahfud menyebut, pihak TNI juga sudah menerima substansi masalahnya, terkait penetapan tersangka kasus dugaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi militer.
Karena itu, Mahfud meminta kasus dugaan korupsi yang dilakukan Kabasarnas Henri Alfiandi secara substansi telah diinformasikan dan dikoordinasikan kepada TNI. Setelah dilakukan koordinasi, kasusnya harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui Pengadilan Militer.
“Meskipun terkadang ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan tetapi biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke Pengadilan Militer sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas,” tegas Mahfud.
Sebelumnya, KPK menetapkan Kabasarnas RI Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka. Henri menyandang status tersangka setelah KPK menggelar OTT di Jakarta dan Bekasi, pada Selasa (25/7).
KPK menduga, Henry Alfiandi menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar. Suap itu diterima Henry melalui anak buahnya Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto (ABC) selama periode 2021-2023.
Henri menyandang status tersangka bersama Koorsmin Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC), Komisaris Utama PT Multi Gtafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya (MR), Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil (RA).
Adapun untuk proses hukum terhadap Henri dan Afri diserahkan ke pihak TNI. Langkah ini dilakukan mengacu ketentuan hukum yang berlaku.
Sementara Mulsunadi Gunawan, Marilya dan Roni Aidil sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi yang menyeret Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Arif Budi Cahyanto kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru. Bahkan dianggap merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum, dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.
“KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri dalam keterangannya, Minggu (30/7).
“Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya,” sambungnya.
Ia menyebut, sistem peradilan militer sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas, kata Gufron, tentunya hal tersebut sudah benar, karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya. Hal ini sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap.
“Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya, padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI, karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer,” tegas Gufron. (jpc)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button