Pasal Pencemaran Nama Baik Digugat ke MK
JAKARTA, RAKA – Dua aktivis Hak Azasi Manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, serta dua organisasi AJI Indonesia dan YLBHI mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal-pasal berita bohong dan pasal pencemaran nama baik ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin dalam UUD 1945. Uji materi tersebut didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin 24 Juli 2023 oleh kuasa hukum mereka yang terdiri atas Themis Indonesia Law Firm, LBH Jakarta, LBH Masyarakat dan Tim Advokasi Untuk Demokrasi.
“Pasal-pasal yang diajukan yakni Pasal 14 dan 15 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 (berita bohong), Pasal 27 Ayat (3) Jo. Pasal 45 Ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 Ayat (1) KUHP (pencemaran nama baik),” kata kuasa hukum penggugat Shaleh Al Ghifari dalam keterangannya, Rabu (26/7).
Shaleh menjelaskan, pasal-pasal tersebut bersifat karet, sehingga rentan disalahgunakan untuk mempidanakan ekspresi yang sah, seperti yang saat ini dialami oleh dua termohon yakni Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Sebab, keduanya dikriminalisasi oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan karena menyampaikan pendapat dan ekspresi terkait dugaan keterlibatan sejumlah pejabat tinggi atas pertambangan dan pengerahan pasukan keamanan di Papua.
“Sedangkan AJI berkepentingan, karena bertugas melindungi anggotanya yang rentan dikriminalisasi saat menjalankan tugas-tugas jurnalistik akibat pasal-pasal karet tersebut. AJI mencatat terdapat 38 jurnalis yang dikriminalisasi dengan UU ITE sepanjang 2008-2023, dengan 28 di antaranya 73,7 persen dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik,” ucap Saleh.
Begitu pula YLBHI yang bertugas memberikan bantuan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi manusia, kesulitan melakukan pembelaan dan bantuan hukum bagi warga yang dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet ini.
“Pasal-pasal ini bertentangan dengan hak kebebasan menyatakan pikiran dan hati nurani serta hak mencari dan menerima informasi. Para pemohon dirugikan karena dapat dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet ini,” papar Shaleh.
Kuasa hukum lainnya, Fandi Denisatria mengatakan pasal-pasal tersebut sebenarnya adalah warisan kolonial Belanda yang sengaja diberlakukan di negeri Jajahan Hindia Belanda. Karena warga pribumi kala itu dianggap warga yang mudah terhasut dan tidak punya kemampuan menyaring informasi.
Selain itu, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan prinsip pembatasan hak asasi manusia yang harus didasarkan asas proporsionalitas, legalitas dan partisipasi (three part test).
“Para Pemohon juga meminta kepada MK agar pemberlakuan pasal-pasal tersebut ditangguhkan sementara saat perkara disidangkan karena telah merugikan hak-hak konstitusional pemohon, khususnya Haris dan Fatia yang saat ini masih menjalani persidangan di PN Jakarta Timur,” pungkasnya. (jpc)