
JAKARTA, RADAR KARAWANG – Alhamdulillah. Setelah lolos dari jeratan hukum, kini Supriyani sang guru honor justru mendapat rezeki tak terduga. Dia akan diangkat jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) lewat jalur afirmasi. Bahkan kepastian PPPK itu disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Medikdasmen) Prof Abdul Mu’ti di kantornya, baru-baru ini.
Menurut Prof. Mu’ti hal ini juga sudah dikoordinasikan dengan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nunuk Suryani. Prof. Mu’ti mengatakan, pemberian afirmasi ini adalah bentuk komitmen Kemendikdasmen agar para guru bisa mengajar dengan baik. “Ini jadi komitmen kami agar bagaimana guru-guru mengajar dengan baik dan mudah-mudahan kasus seperti ini tidak terjadi di masa mendatang,” ujarnya.
Sebelumnya, Prof. Mu’ti mengatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian untuk mendengar proses hukum Supriyani. Prof. Abdul Mu’ti mengatakan, pihaknya sudah mendapat beberapa laporan dari Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai kelanjutan kasus ini. Hasilnya, kata Prof. Mu’ti, guru tersebut telah diberikan penangguhan penahanan oleh Pengadilan Negeri (PN) yang menangani kasus tersebut. “Ketua PN mengabul permohonan penangguhan penahanan Supriyani,” ungkapnya.
Kendati demikian, Supriyani akan tetap menjalani persidangan untuk bisa mendapatkan kepastian hukum. Selain itu, kata Prof. Mu’ti, Ketua PN juga telah menyambut baik usulan Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) untuk memberikan vonis sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Guru Supriyani Dibela Masyarakat
Sidang perdana kasus dugaan penganiayaan dengan terdakwa Supriyani digelar di PN Andoolo Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) hari ini, Kamis (24/10/2024). Sekira pukul 9.29 WITA ratusan massa aksi terdiri guru dan masyarakat berkumpul di PN Andoolo. Tampak mereka menyampaikan dukungan, kepada Supriyani di depan Kantor PN Andoolo yang dijaga ketat TNI-Polri dan Satpol PP. Ratusan guru tersebut kompak mengenakan seragam PGRI, sambil membawa selebaran poster bertuliskan kalimat dukungan hingga sindiran. Poster-poster tersebut kebanyakan terbuat dari kertas karton, dengan warna beragam dan ditulis tangan para guru. Adapun isi poster tersebut antara lain ‘Save Guru, Save Supriyani’, ‘Honorer Itu Disejahterakan Bukan Dipenjarakan’. ‘Guru adalah pelita, kalau kau padamkan maka kamu nanti akan tersesat’. Kemudian ‘Cukup hatiku saia yang terpenjara… Bu Guru jangan… #savebugurusupriyani’, ‘Apami itu, ramemi to!!!’. ‘Jangan seenaknya dengan guru’, ‘Jadi polisi karena guru, baru ko polisikan guru, bagaimana itu!!!’. ‘Stop!!! Kriminalisasi guru’, ‘Ingat sehebat apapun saat ini dirimu karena guru’, dan ‘Guru perlu diselamatkan ketika mereka disudutkan’.
Terlihat massa aksi juga meneriaki polisi agar tidak mendiskriminasi guru. “Guru sebagai pengajar, kalian tidak akan bisa jadi polisi kalau bukan guru,” ujar salah seorang guru yang berada di depan pagar PN Andoolo.
Perwakilan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Palangga, Muhammad mengatakan datang bersama rombongan PGRI lainnya untuk mendukung Supriyani agar dibebaskan dari tuntutan hukum di dalam persidangan. “Kami berharap ibu Supriyani bisa bebas dalam kasus ini, dan kami berharap juga tidak ada lagi diskriminasi-diskrimanasi kepada guru,” katanya kepada wartawan.
Nasib berbalik justru dialami Aipda WH. Polisi Polsek Baito itu justru diperiksa tim internal Polda Sultra. Hal ini beralasan karena adanya informasi diduga Aipda WH mengambil barang bukti yang dipakai untuk menganiaya anaknya, serta adanya tudingan uang damai Rp 50 juta. Wakapolda Sultra, Brigjen Pol Amur Chandra Juli Buana menuturkan pihaknya telah membentuk tim internal untuk menyelidiki terkait adanya dugaan kesalahan prosedur dalam penanganan kasus yang kini viral tersebut. Dia menuturkan salah satu hal yang akan diselidiki yaitu terkait adanya dugaan Aipda WH mengambil barang bukti berupa sapu ijuk yang disebut digunakan Supriyani untuk memukul anaknya. Padahal, secara prosedur, dalam penanganan sebuah kasus, barang bukti diamankan oleh penyidik. Buana menuturkan Aipda WH bakal diperiksa untuk dimintai keterangan terkait dugaan tersebut. “Itu (dugaan Aipda WH mengambil barang bukti) masih kita dalami semua,” katanya.
Selain itu, Buana juga menyebut tim internal bakal menyelidiki terkait isu adanya permintaan uang damai sebesar Rp50 juta yang diminta oleh Aipda WH kepada Supriyani. Dia menegaskan seluruh isu tersebut akan diselidiki dan diharapkan bakal terbuka secepatnya. “Soal isu-isu lain (dugaan pelanggaran prosedur), masih kami dalami. Tetapi, yang pasti dalam berkas perkara, semua sudah kami sampaikan kepada pihak kejaksaan, pembuktian secara materil juga dinilai sudah cukup oleh kejaksaan, nanti di pengadilan itu bisa dikupas lagi.”
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan kita ketahui hasilnya dan akan kita sampaikan kepada masyarakat,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Aipda WH membantah telah meminta uang damai Rp 50 juta kepada Supriyani. “Terkait permintaan uang besarannya seperti itu tidak pernah kami meminta.”
“Sekali lagi kami sampaikan, kami tidak pernah meminta,” katanya saat ditemui awak media.
Aipda WH menjelaskan Supriyani yang juga terlapor sempat mengunjungi rumahnya. Tujuannya meminta maaf dan mengakui perbuatannya. Ditemani kepala sekolah SDN 4 Baito. Sementara kedatangan kedua terlapor, ditemani langsung Kepala Desa (kades). “Upaya mediasi pertama kali tersangka itu bersama kepala sekolah. Ia akui perbuatannya, kami sampaikan berikan kami waktu,” katanya.
Dalam upaya mediasi berikutnya, pihak tersangka dan suaminya datang langsung ke rumah korban. Tetapi, mediasi gagal. “Kami tidak pernah meminta uang. Malahan, suami tersangka saat datang ke rumah mengeluarkan amplop putih.”
“Tidak tahu isinya. Dilakukan suaminya saat ke rumah bersama kepala desa,” katanya soal tudingan uang damai Rp50 juta.
Keterangan berbeda diberikan oleh Kastiran (38), suami Supriyani. Ia mengaku dimintai uang damai sebanyak Rp 50 juta oleh pihak pelapor. Selain itu, Aipda WH meminta Supriyani keluar dari sekolahnya tempat mengajar. Kastiran tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut. “Diminta Rp 50 juta dan tidak mengajar kembali agar bisa damai.”
“Kami mau dapat uang di mana? Saya hanya buruh bangunan,” ungkap dia. (psn/tb)