HEADLINE

Tiba-tiba Jadi Kader Parpol
-31 Warga Karawang Lapor ke Bawaslu

KARAWANG, RAKA – Menjelang perhelatan pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang, masyarakat diminta waspada terkait kemungkinan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dicatut partai politik sebagai kader untuk pendaftaran calon peserta pemilu 2024.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Karawang Kursin Kurniawan mengatakan, selama posko aduan masyarakat dibuka, sebanyak 31 orang melayangkan aduan ke Bawaslu soal nama dan NIK mereka tercantum dalam Sitem Informasi Partai Politik (Sipol) sebagai anggota partai politik. “Selama posko dibuka, kami sudah menerima sebanyak 31 aduan masyarakat yang menyatakan jika nama dan NIK mereka masuk dalam Sipol KPU sebagai anggota partai tertentu, padahal mereka mengaku bukan sebagai anggota partai,” katanya kepada Radar Karawang, Rabu (7/9).
Kursin melanjutkan, dari jumlah yang melaporkan tersebut, terdiri dari berbagai macam profesi mulai dari Aparatur Sipil Negara (ASN), guru, PKH, pelajar atau mahasiswa, wiraswasta, perangkat desa, buruh dan ibu rumah tangga. “Dari data hasil laporan adanya sebanyak 10 orang ASN, enam orang perangkat desa, tujuh orang wiraswasta, empat orang pelajar atau mahasiswa, dua orang guru honorer, dan dua orang buruh atau ibu rumah tangga,” lanjutnya.
Ia menuturkan, pihaknya saat ini sudah melayangkan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Karawang, untuk nama-nama tersebut dilakukan proses penghapusan dalam Sipol sebagai anggota partai politik. “Kita sudah kirim surat ke KPU agar nama-nama tersebut dihapus dalam Sipol sebagai anggota parpol,” tuturnya.
Dia meminta kepada masyarakat, jika masih ada masyarakat yang merasa namanya masih dicatut dalam Sipol KPU sebagai anggota partai politik tertentu, untuk segera melaporkan ke Bawaslu Kabupaten Karawang. “Saya berharap masyarakat juga berperan serta dalam proses pengawasan ini, dengan mengecek NIK nya dalam link info pemilu untuk memastikan namanya atau NIK nya tidak tertera dalam Sipol,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Democracy Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai, parpol tak pernah merasa jera karena minimnya tindakan dari para penyelenggara pemilu terutama KPU dan Bawaslu. Ditambah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya memasukkan pelanggaran pencatutan itu dalam kategori pelanggaran administrasi. “Saya kira pencatutan ini problem serius dalam demokrasi kita. Harapannya mereka dijerat pelanggaran administrasi oleh Bawaslu, meski regulasi kita gak kuat,” kata Neni.
Meski begitu, untuk memberi efek jera, praktik pencatutan NIK KTP ini sebenarnya bisa pula jerat oleh undang-undang lain, salah satunya UU tentang administrasi kependudukan Nomor 24 Tahun 2013. Pasalnya praktik tersebut diduga masuk dalam tindak pencurian data kependudukan dan penyalahgunaan data pribadi. Neni menilai pencatutan NIK merupakan praktik berulang yang tak pernah diselesaikan secara tuntas dan tidak memberikan efek jera. Mestinya, parpol yang terbukti mencatut NIK, dijerat pasal 94 dan 95 UU tentang Administrasi Kependudukan. Di sana mengatur dengan jelas sanksi pidana bagai pihak yang terbukti memanipulasi data dan menyebarluaskan data kependudukan tanpa izin. “UU Kependudukan ini bisa jadi solusi sanksi kurang tegas yang diatur oleh UU 7 tahun 2017 karena hanya mengkategorikan bagian dari pelanggaran administrasi,” terangnya.
Dengan adanya aturan tersebut, lanjut Neni, mestinya Bawaslu tidak berhenti pada penindakkan pelanggaran administrasi. Tapi bisa menindaklanjuti dengan menggunakan undang-undang lain yang kebih relevan. “Intinya karena ini pelanggaran serius, Bawaslu itu harus memastikan parpol yang terbukti sengaja mencatut nama seseorang itu diluar kadernya itu dibawa ke ranah pidana umum,” pungkasnya. (fjr/ab)

Related Articles

Back to top button