Impor Garam Bikin Petambak Babak Belur

Produksi Lokal Belum Bisa untuk Industri
CILAMAYA WETAN, RAKA – Butuh waktu empat bulan bagi petambak untuk menikmati hasil jerih payahnya mengolah garam. Namun, sejak pemerintah melakukan impor garam tahun 2020, para petambak di Desa Muara Baru Kecamatan Cilamaya Wetan, Desa Ciparagejaya Kecamatan Tempuran dan Desa Pasirjaya Kecamatan Cilamaya Kulon, babak belur.
Sebabnya, harga garam lokal turun tajam hingga Rp300 per kilogram. Padahal sebelumnya, harga garam pernah menyentuh Rp4.000 per kg.
Mereka pun protes. Mogok. Tidak mau lagi memproduksi garam. Karena hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan keringat yang dikeluarkan. Kini, para petani garam beraktifitas lagi, melanjutkan produksinya. Terlebih setelah Perum Peruri melirik aktivitas unit pengolahan garam di Desa Tegalsari, Kecamatan Cilamaya Wetan.
Ditambah adanya bantuan berupa washing plant atau alat pengolahan garam dari Kementerian Kelautan. Diketahui, washing plant ini merupakan alat pengolah garam lokal atau garam prosok menjadi garam beryodium. Menurut Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Aep Suhardi, garam yang diproduksi oleh petambak lokal Karawang memiliki kandungan natrium klorida rendah, di bawah 90. Namun setelah diolah menggunakan washing plant, bisa mencapai 97. “Dan itu salah satu syarat agar garam bisa masuk ke industri,” katanya.
Ia melanjutkan, produksi garam hanya dilakukan selama empat bulan dalam satu musim, sisanya tidak dipakai karena musim hujan dan juga dipakai untuk membudidaya ikan. “Kita pakai musim kemarau saja. Alhamdulillah hasil produksi tertinggi mencapai 16 ribu ton di tahun 2019 sebelum ada impor garam,” ujarnya.
Sementara tahun 2020, lanjut Aep, seiring dengan anjloknya harga garam, berdampak pada hasil produksi. Akibatnya para petambak garam enggan berusaha dan lebih memilih untuk fokus budidaya ikan. “Setelah adanya pengolahan garam ini, hasil produksi anggota bisa terserap koperasi untuk diolah dan dijual,” katanya.
Ia melanjutkan, setelah ada bantuan pengolahan garam, hasil produksi mencapai 7 ton per hari atau 210 ton per bulan. “Karena kebutuhannya cukup di angka 3000 ton saja,” ujarnya.
Aep mengatakan, garam lokal Karawang ini dianggap jelek, padahal setelah ada alat pengolahan, garam lokal pun bisa bersaing. “Harga garam industri untuk saat ini berkisar Rp1.800 hingga Rp2.500 per kg, sementara untuk garam beryodium mencapai Rp3.500, itu pun kalau dijual ke agen,” terangnya. (rok)