KABAR KAMPUNG
Trending

Perjuangan Warga Cemarajaya

KARAWANG, RAKA – Di balik riuhnya suara ombak yang terus menghantam garis pantai utara Karawang, terdapat sebuah kisah perjuangan yang menyayat hati.

Ondan (66), seorang nenek renta dari Desa Cemara Jaya, Kecamatan Cibuaya, memilih tetap bertahan hidup di rumah tuanya meski bangunan tempat tinggalnya kini nyaris tak lagi layak huni.

Dengan tubuh ringkih, keriput yang dalam, dan langkah pelan yang kian goyah, ia masih setia mengisi karung pasir, menata batu penahan ombak, dan sesekali memungut puing bangunan yang sudah porak-poranda.

Dinding rumahnya kini retak, atap bocor di sana-sini, dan lantai kerap digenangi air laut ketika banjir rob datang menerjang. Namun, dengan mata berkaca-kaca, ia tetap berkata lirih.

“Di sinilah rumah saya, tempat saya. Mau ke mana lagi saya harus pergi?” ucapnya
Sudah dua malam berturut-turut, sejak pukul empat sore hingga menjelang malam, banjir rob melanda Dusun Cemara 1, Cemara 2, Pisangan, hingga Mekarjaya.

Air laut yang meluap masuk ke jalanan dan merendam pemukiman membuat warga harus berjibaku menyelamatkan barang seadanya.

Sebagian warga memilih mengungsi ke rumah kerabat, namun tidak sedikit pula yang memilih bertahan, termasuk sang nenek.

Setiap kali ombak datang lebih besar dari biasanya, ia hanya bisa duduk di depan rumahnya yang dikelilingi karung pasir penahan.

Wajahnya penuh rasa cemas, namun tangannya tetap erat memegang bungkusan makanan sederhana yang akan dimakannya sore hari.

Di belakang nenek itu, pemandangan yang tampak hanyalah barisan rumah-rumah yang dindingnya mulai mengelupas, beberapa sudah rata dengan tanah, sebagian lagi hanya menyisakan kerangka bangunan.

Abrasi terus mengikis bibir pantai, menjadikan batas antara laut dan pemukiman semakin tipis.
“Dulu, jarak laut sama rumah saya masih jauh. Sekarang semuanya habis dimakan air,” ucapnya lirih.

Bagi nenek ini, rumah tua yang kini tinggal separuh itu bukan sekadar tempat tinggal. Di sana ada kenangan bersama almarhum suaminya, ada cerita tentang anak-anaknya yang dulu berlarian di halaman kecil, ada doa-doa yang ia panjatkan tiap subuh sambil mendengar desiran ombak.

Meski usianya renta, ia enggan meninggalkan kampung halamannya. Baginya, pindah bukanlah pilihan. Setiap hari ia bergotong royong bersama warga lain, mengisi karung-karung pasir untuk menahan derasnya air laut.

Kadang, ia hanya mampu duduk sambil menyemangati tetangganya yang masih muda, tapi ada kalanya ia ikut bekerja dengan tangan yang gemetar.

Sementara itu, bantuan pangan seadanya menjadi penopang hidup. Satu bungkus makanan yang dibawanya siang itu adalah bekal untuk bertahan hingga sore.

Di balik senyumnya yang getir, tersimpan rasa khawatir akan hari esok apakah rumahnya masih berdiri, ataukah ombak kembali merobohkannya.

Namun bagi sang nenek, harapan tetap sederhana, ia hanya ingin bisa tinggal dengan tenang di rumahnya, tanpa waswas air laut akan merenggut segalanya.

“Selama saya masih bisa bernafas, saya akan tetap di sini. Ini tanah saya, ini rumah saya,” katanya dengan suara bergetar.(uty)

Related Articles

Back to top button