Jangan Abaikan Kesehatan Mental

Cempaka Putire Dimala
KARAWANG, RAKA – Sebagai salah satu kota penyangga ibu kota, Kabupaten Karawang masuk ke dalam rural area dimana pembangunan daerah yang pesat, namun tidak diiringi perkembangan manusianya. Kondisi ini menyebabkan jurang pemisah dan tidak meratanya pengetahuan kesehatan mental pada area ini. “Sama seperti handphone, smartphone but not smart people,” terang Cempaka Putire Dimala, M. Psi, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang.
Cempaka mengatakan, masyarakat mesti sadar akan pentingnya kesehatan mental. Peran keluarga sangat penting untuk mewaspadai adanya gejala-gejala gangguan mental pada salah satu anggota keluarga. “Misalkan salah satu anggota keluarga ada yang mulai ngomong sendiri, tertawa sendiri, itu harus sudah aware, saatnya bertanya kepada ahlinya ini bagaimana,” tambahnya.
Yang paling mudah adalah masyarakat bisa mengkonsultasikan hal tersebut kepada psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Ia sendiri merupakan psikolog relawan di P2TP2A, kasus yang kerap ditemui gangguan mental yang dialami klien sudah terlanjur fatal. Padahal sebelumnya keluarga pasien telah menyadari gejala awal gangguan kesehatan mental tersebut. “Contoh yang si bapak yang kasus membacok istrinya, itu dari keluarga ada keterangan bahwa sejak awal si bapak suka ngomong sendiri, tertawa sendiri,” ungkapnya.
Gejala lainnya sebagai gejala adanya gangguan kesehatan mental adalah perilaku aneh dan perubahan sikap individu di luar dari kebiasaannya. Mereka juga cenderung mengurung diri dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Untuk menangani gangguan mental seperti ini, mesti ada support system dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat sebaiknya merangkul pengidap, alih-alih menghindarinya bahkan melakukan perundungan secara tidak disadari. Penyakit masyarakat saat ini adalah mereka malah memberi labeling, atau mencap pengidap dengan hal yang berkonotasi negatif.
Selain peran keluarga dan lingkungan, mesti ada sinergi semua pihak untuk memberikan edukasi dan penanganan kesehatan mental di masyarakat. Ia sendiri selaku akademisi mengatakan hal yang dilakukan para akademisi adalah pengabdian dengan masyarakat. Namun untuk lebih lanjutnya mesti ada perhatian dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa memfasilitasi konsultasi psikologis di setiap puskesmas. “PR-nya dari psikolog adalah promotif, mempromosikan kesehatan mental itu apa sih, rata-rata orang menghubungi saya ketika masalah telah terjadi, padahal itu bisa dicegah jika mendapatkan perilaku sehat mental,” jelasnya.
Kesehatan mental ini memang harus menjadi perhatian bersama baik itu keluarga, lingkungan, akasemisi dan pemerintah. Namun yang paling penting adalah bagaimana seseorang bisa menjaga kesehatan mentalnya dengan tidak melakukan hal-hal buruk, sebagaiman tubuh mesti dijaga dengan tidak mengkonsumsi makanan yang tidak baik. Dan tak kalah penting untuk tidak berpikir negatif atau over thingking. “Pada dasarnya kondisi tubuh itu, saya baca dalam penelitian, 70 persen yang berkontribusi itu kondisi psikologis,” terangnya.
Mengenai kerap adanya remaja yang mengklaim dirinya mengalami gangguan kesehatan mental tanpa adanya dampingan dari ahli (self-diagnosis), itu artinya orang tersebut butuh perhatian. Dan hal itu menjadi tanda untuk lebih perhatian terhadap kondisi mental mereka. “Pada dasarnya sehat mental dan jiwa, maka hidupmu akan damai,” pungkasnya. (cr5)