Janji Caleg jadi Rujukan Rakyat
PURWAKARTA, RAKA – Di antara tahapan pemilu, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Namun disayangkan, pada kenyataanya, rakyat juga lebih memilih kepentingan sesaat atau pragmatis daripada program-program yang ditawarkan.
Pengamat Sosial dan Komunikasi Purwakarta Rohendi mengatakan, pada kenyataannya, sebagian besar rakyat tidak lagi memandang penting kampanye bahkan pemilu itu sendiri. Karena hal ini dianggap tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan belaka yang belum pasti akan memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka. “Terjadinya penurunan secara beruntun partisipasi masyarakat dalam setiap gelaran pemilu di era reformasi merupakan bukti konkretnya. Bahkan, dalam konteks pilkada, di beberapa daerah jumlah suara golput justru lebih besar daripada suara kemenangan pasangan calon,” paparnya.
Dia juga mengatakan, alasan mendasar yang melatarbelakangi munculnya kekecewaan masyarakat tersebut akibat janji pemilu yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. “Rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, selanjutnya diabaikan ketika kekuasaan telah tercapai,” ujarnya.
Dijelaskannya, janji kampanye para kontestan pemilu seolah-olah hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut, mungkin telah direncanakan untuk tidak dipenuhi.
Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diinkari. “Akibatnya, demokrasi perwakilan di Indonesia saat ini mengalami masalah disconnected electoral yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili. Sehingga seringkali tindakan yang dilakukan oleh para wakil tidak linier dengan apa yang menjadi aspirasi dan keinginan dari orang-orang yang diwakili,” paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penyebab munculnya persoalan tersebut, selain karena popularitas sebagian kandidat jauh melebihi kemampuannya untuk menjadi politisi yang andal dan negarawan, juga ditopang oleh semakin berkembangnya sikap rasional para pemilih terutama rasional secara materi. “Implikasinya, money politic menjadi lebih meluas sehingga perilaku pemilih cenderung mengarah pada munculnya transaksi material yang bercorak jangka pendek dan sesaat, bukan pada transaksi kebijakan antara para wakil dengan terwakil,” pungkasnya. (ris)