Warga membersihkan limbah tumpahan minyak di pesisir pantai Kecamatan Cibuaya.
KARAWANG, RAKA – Semburan minyak Pertamina di YYA-1 Blok ONWJ sampai hari ini belum jelas proses penyelesaiannya. Masyarakat di sepanjang pesisir pantai utara Jawa Barat paling dirugikan atas insiden tersebut.
Selain kerugian ekonomi, telah terjadi degradasi hutan-hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai. “Saya sangat prihatin melihat kebocoran sumur pertamina di YYA-1 Blok ONWJ. Kebocoran tersebut semakin hari semakin meluas persebaran minyak mentahnya,” kata Sekretaris Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Karawang Dona Romdona.
Yang paling memprihatinkan, kata Dona, pencemaran minyak mentah tak hanya terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Namun sudah tersebar lintas provinsi. Bahkan lintas pulau. Adapun Wilayah yang terdampak sudah meliputi, Kabupaten Bekasi, area pantai depan pulau di Kepulauan Seribu, hingga Banten. Bahkan kabarnya, sekarang luasan pencemaran telah mencapai Lampung.
Kini, warga sepanjang pesisir pantai utara Karawang harus mengelus dada ketika mangrove yang 4 tahun ke belakang ditanam, harus mati begitu saja terkena dampak pencemaran minyak. “Setidaknya terdapat, 240 ribu po¬hon mangrove di Karawang yang rusak, Indramayu dan Bekasi. Degradasi lingkungan dan ekosistem biodata laut tentunya mengalami penurunan,” tandas warga Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang ini.
Kata Dona, bagi masyarakat yang terkena dampaknya, kebocoran minyak ini bisa disejajarkan dengan bencana besar. Karena mata pencarian mereka terputus yang berujung turunnya daya beli. Sementara sektor industri perikanan turun drastis, perikanan tambak mati, sektor wisata pantai sepi, kesehatan masyarakat terganggu, pencemaran udara akibat pengangkutan limbah minyak beracun siap mengintai masyarakat.
“Jika diibaratkan neraka, kebocoran minyak ini seperti nanah hitam yang tumpah dari neraka terus jatuh ke perairan laut utara. Terus nanah hitam tersebut menyebar dengan cepat melintasi beberapa pulau dan lautan. Yang terkena nanah hitam dari neraka ini akan mengalami kutukan dan penderitaan,” ujarnya.
Sayangnya, hingga kini pencemaran limbah minyak tersebut belum bisa diselesaikan. Padahal warga sudah cukup lama bersabar. Sebagai warga yang desanya terdampak, dirinya tidak tahu apakah warga masih mampu bersabar jika hingga akhir bulan ini pembersihan limbah minyak masih belum juga selesai.
Bisa dibayangkan, dengan upah tidak seberapa warga masih mau membantu pihak manajemen Pertamina untuk mengangkut minyak dari lautan ke bibir pantai. Kemudian dari bibir pantai diangkut ke tempat penampungan dengan upah yang tidak seberapa pula, jika dibandingkan penghasilan normal saat melaut. “Karena memang selama ini pihak warga sebagai korban tidak pernah diajak duduk bareng dalam merumuskan besaran nominal kompensasi kerugian materil,” ujar pria yang rumahnya hanya ratusan meter dari bibir pantai ini.
Jika hingga akhir bulan September ini tidak kebocoran belum bisa diselesaikan, akan menjadi bencana besar yang akan banyak menelan kerugian besar pula. “Kami berpandangan sudah saatnya Pak Jokowi turun tangan untuk menangani bencana ini. Tingkatkan status bencana ini menjadi bencana nasional. Karena kami meyakini pencemaran minyak ini berlangsung sangat cepat akan melintasi berbagai perairan dan pulau. Tentunya yang paling dirugikan adalah masyarakat,” tandasnya.
Sebelumnya, Vice President Relations Pertamina HE Ifki Sukarya mengakui, kebocoran belum teratasi. Namun upayanya menutup kebocoran dengan menggali sumur baru itu sudah hampir selesai. Dari target 9000 ft yang akan digali, penggalian sudah mencapai 8.250 ft setara dengan 2.578 meter. “Dari target 9000 ft, sampai tanggal 3 September ini sudah hampir 90 persen tergali,” katanya saat dihubungi usai mengikuti rapat di ruang rapat Sekda Karawang, kemarin.
Pihaknya menargetkan, penutupan kebocoran selesai pada akhir September. Kata dia, upaya penutupan terkendala dengan keakurasian alat untuk sampai pada titik kebocoran. “Realistisnya 8 Oktober selesai. Tapi kita targetkan akhir September selesai,” tandasnya.
Kini pihaknya tengah berupaya menggunakan tandon foida untuk menghentikan minyak agar tidak sampai ke permukaan air. Sedangkan penyebab minyak sampai ke permukaan air dikarenakan arus dan gelombang sangat tinggi. “Dalam sehari yang keluar 300 sampai 500 barrel. Tetapi itu fluktuatif tergantung kondisi arus,” paparnya.
Sedangkan terkait pemberian kompensasi terhadap warga yang terdampak dari kebocoran minyak, pihaknya masih menunggu proses. Data yang sudah terkumpul harus divalidasi dan diverifikasi ulang oleh tim kabupaten. Setelah selesai kemudian direkomendasikan kepada Pertamina. (nce)