
KARAWANG,RAKA- Wilayah Karawang terancam krisis iklim global yang dampaknya kian nyata, mulai dari pola cuaca yang tidak menentu hingga meningkatnya risiko bencana lingkungan seperti abrasi dan pencemaran laut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, menegaskan bahwa situasi ini bukan sekadar masalah lokal, tetapi bagian dari krisis global yang membutuhkan aksi kolaboratif lintas sektor.
Baca Juga : TPSS Kelurahan Karawang Wetan Ditutup
“Iklim sekarang tak bisa diprediksi lagi. Kita sudah masuk ke fase krisis iklim yang bisa berujung pada krisis energi, krisis pangan, bahkan krisis air,” ungkap Ai Saadiyah saat diwawancarai, Kamis, (19/6).
Ia menambahkan bahwa Jawa Barat sebagai bagian dari Indonesia telah berkomitmen dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk Paris Agreement dan hasil COP28, dengan target utama menurunkan emisi gas rumah kaca. DLH Jabar sendiri telah menetapkan indikator utama untuk menangani dampak perubahan iklim, salah satunya adalah penurunan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor seperti transportasi, limbah domestik, energi, hingga kehutanan.
Menurut Ai, salah satu pemicu utama krisis ini adalah buruknya pengelolaan limbah yang justru memproduksi gas metana. Menanggapi maraknya pencemaran di wilayah Karawang, termasuk temuan limbah medis yang dibuang sembarangan, Ai dengan tegas menyebut hal itu bukan sekadar pelanggaran, tapi sudah masuk ranah kejahatan lingkungan.
“Itu jelas pelanggaran berat. Limbah medis termasuk B3 dan pengelolaannya harus punya izin khusus dari pusat. DLH punya PPLH (Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup) yang bisa menjatuhkan sanksi administratif, bahkan bisa masuk ranah pidana,” tegasnya.
Tonton Juga : ANTHEME RUSIA… URAAAA!!
Namun, Ai juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam melakukan pemantauan. Di tengah keterbatasan SDM dan anggaran, laporan dari warga termasuk melalui media sosial menjadi salah satu sumber penting untuk tindakan pengawasan dan penindakan. Dalam kaitannya dengan penanganan abrasi dan pencemaran laut, DLH Jabar berkolaborasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Kehutanan untuk program penanaman mangrove dan pengelolaan sampah pantai. Bahkan, Pemprov tengah menjajaki kerja sama dengan TNI AL untuk menangani sampah laut secara lebih masif.
“Kalau bicara kualitas air laut, secara umum indeksnya masih bagus, sekitar 88 poin. Tapi di beberapa titik, terutama Pantura, kualitasnya menurun akibat sedimentasi dan pencemaran industri. Ini jadi perhatian khusus kami,” jelas Ai.
Saat ditanya soal keterkaitan program DLH Jabar dengan program nasional seperti Giant Sea Wall, Ai menyatakan pihaknya menunggu arahan pusat terkait peran dan kontribusi daerah. Namun ia memastikan, di wilayah 12 mil laut yang menjadi kewenangan provinsi, DLH Jabar telah melakukan berbagai upaya strategis demi menjaga kualitas dan ekosistem laut.
Dengan semangat kolaboratif dan langkah konkret, Jawa Barat berharap dapat menjadi provinsi yang tangguh menghadapi krisis iklim dan menjadi contoh dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah sinergi. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi pentahelik antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, dan media adalah kunci menghadapi tantangan lingkungan ke depan,” pungkasnya. (uty)