HEADLINEKARAWANG

70 Persen Siswa tak Ikut PJJ

BERMAIN LAYANGAN: Dua bocah Perumahan Karaba Indah, Desa Wadas, Kecamatan Telukjambe Timur, melepas penat dengan bermain layang-layang, setelah sebelumnya berkutat dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh gurunya melalui pembelajaran jarak jauh.

KARAWANG, RAKA – Sudah satu bulan sejak tahun ajaran baru dimulai, anak-anak SD hingga SLTA mengikuti kegiatan belajar mengajar melalui daring. Banyak persoalan yang terjadi, diantaranya kesulitan mengakses internet. Bahkan dalam workshop pendidikan, peluang dan tantangan pelaksanaan pembelajaran di era new normal yang digelar ketua Komisi X DPR RI dengan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Hotel Akshaya Karawang, terungkap hanya 30 persen siswa yang mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Artinya ada 70 persen siswa yang tidak mengikuti pembelajaran online.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak berjalan efektif. Bahkan ia mengaku kaget mendengar PJJ di Karawang hanya bisa diikuti oleh 30 persen jumlah siswa. “Padahal di Karawang enggak ada 100 kilo (meter) dari Jakarta,” ungkapnya selepas workshop pendidikan, peluang dan tantangan pelaksanaan pembelajaran di era new normal di Hotel Akshaya, Senin (10/8).

Huda menyampaikan, hal tersebut menunjukan banyaknya masalah dan kendala dalam pelaksanaan PJJ. Sebab itu ia meminta agar Kemendikbud melakukan inisiatif dengan skema lainnya yang tidak mengandalkan relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Ia juga menyatakan dirinya setuju pembelajaran tatap muka dibuka untuk sekolah di wilayah dengan status zona kuning. Namun dengan catatan tetap melaksanakan protokol kesehatan dengan ketat.

Disampaikannya, semua kepala sekolah yang hadir dalam workshop pagi itu setuju untuk dilaksanakan pembelajaran tatap muka. Mengingat segala kendala dalam PJJ tidak bisa terelakan. Selanjutnya perlu diperhatikan bagaimana kesiapan sekolah untuk menerapkan protokol kesehatan. Ia sendiri meyakini para kepala sekolah sudah punya inisiatif membuat simulasi penerapan protokol kesehatan dalam pembelajaran tatap muka. “Satu kelas cukup diisi seperempat, jam sekolah cukup dua jam,” terangnya.

Masih dikatakan Huda, pembelajaran tatap muka ini secara psikologis sekadar untuk memberi penyegaran bagi anak didik. Dengan demikian pembelajaran di sekolah menurutnya jangan dulu terlalu serius. “Mereka berangkat dan pulang juga dijemput orang tua, jangan naik kendaraan umum, supaya tidak terjadi penularan di perjalanan,” tambahnya.

Ia menegaskan sangat menganjurkan pembelajaran tatap muka dan yakin hal tersebut bisa dilakukan dengan baik, selagi betul-betul mempersiapkan rekayasa keseluruhan proses pembelajarannya. Mengenai perizinan, beberapa tahap mesti ditempuh mulai dari izin komite sekolah, gugus tugas, dan pemerintah daerah, bahkan juga izin orang tua. Dengan demikian ketika ada orang tua yang tidak mengizinkan, maka sang anak mesti dilayani dengan PJJ. “Walaupun forum keberatan dan meminta izin cukup sampai level komite sekolah bukan orang tua,” ungkapnya.

Ia menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Karawang membuka ruang dialog dengan gugus tugas dan para tenaga pendidik. Ia juga kembali mengingatkan Kemendikbud kondisi darurat pendidikan ini tidak bisa ditangani hanya dengan relaksasi dana BOS. Mesti ada afirmasi anggaran di luar dana BOS. Termasuk segala kendala di zona merah dan hitam yang mesti tetap menjalankan PJJ, mesti terurai segala masalahnya. “Harus diintervensi oleh pemerintah, pemerintah mensubsidi pengadaan kuota, mensubsidi pengadaan smartphone, itu saya kira solusi yang harus dilakukan pemerintah, di level masyarakat waktunya kita meningkatkan solidaritas untuk dunia pendidikan,” pungkasnya.

Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah IV Ai Nurhasan mengatakan, terdapat tiga aspek kesiapan sekolah jika ingin menjalankan KBM tatap muka dalam adaptasi kebiasaan baru. Pertama adalah aspek infrastruktur yang mencakup sarana pendidikan, seperti kelas yang nantinya hanya diisi 12 siswa. Ketersediaan wastafel dan hand sanitizer juga mesti diperhatikan. Begitupun ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) mesti betul-betul dipersiapkan, sehingga jika ada siswa sakit dapat segera ditangani dan tidak menularkan pada siswa lainnya.

Aspek kedua adalah pengelolaan mulai dari satgas covid-19 di sekolah, tim pengendali dan SOP tata tertib di kelas, serta tempat lainnya di lingkup sekolah. Para siswa juga mesti betul-betul mengetahui SOP ini, sehingga nantinya proses pembelajaran akan sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. “Jangan sampai di kelas hanya 12 (siswa) tapi tetap berkerumun, percuma dong, dibuat maksimal 12 itu kan agar jaga jarak, biar terjamin makanya dibuat SOP,” terangnya.

Aspek terakhir yang mesti diperhatikan adalah pengelolaan kurikulum pembelajaran. Batas maksimal 12 siswa atau sekitar sepertiga jumlah siswa per kelasnya membuat pembelajaran di sekolah mesti bergiliran. Dengan demikian para siswa hanya akan datang ke sekolah satu kali dalam tiga pekan. Harus jelas kurikulum antara pembelajaran di sekolah dengan pembelajaran di rumah. “Di sekolah kan evaluasi, penguatan, belajarnya tetap di rumah. Kalau SMK di sekolah praktik jangan teori, kalau teori mah di rumah saja, termasuk juga pembagian tugas gurunya bagaimana, pemetaan siswa bagaimana, harus jelas itu,” tutupnya. (din)

Related Articles

Back to top button