HEADLINEKARAWANG

Ada 1.366 Janda Baru

GUNAKAN MASKER: Sejumlah warga Karawang sedang duduk di ruang tunggu Pengadilan Agama, kemarin.

KARAWANG, RAKA – Selain jumlah ibu hamil mencapai belasan ribu, pasangan suami istri yang bercerai di tengah wabah corona di Kabupaten Karawang juga cukup banyak. Hal itu diungkapkan oleh Panitera Hukum Pengadilan Agama Kabupaten Karawang Abdul Hakim, Senin (15/6).

Dia mengatakan, terhitung mulai Januari hingga Mei 2020 tercatat 1.118 perkara yang diterima Pengadilan Agama Karawang. Sementara kasus yang diputus selama lima bulan terhitung 1.366 pasangan yang bercerai. “Jumlah putusan lebih banyak daripada jumlah perkara yang diterima. Karena ditambah dengan perkara bulan sebelumnya,” katanya kepada Radar Karawang.

Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama Karawang, kata dia, terjadi pada bulan Februari sebanyak 376 perkara dan Maret dengan jumlah 353 perkara. Sementara pada bulan April 248 perkara dan Mei 113 perkara. “Bulan Januari hanya 28 perkara. Selama lima bulan ini rata-rata 8 orang bercerai dalam sehari,” ucapnya.

Dikatakan Abdul Hakim, proses persidangan untuk memutuskan status perceraian tetap dilaksanakan di Pengadilan Agama. Namun pihaknya membatasi pelayanan hanya dari pukul 09.00 sampai 12.00. “Kalau sidang tetap dilaksanakan,” ujarnya.

Selain membatasi jam pelayanan, lanjut dia, pihaknya juga selalu mengimbau kepada setiap masyarakat yang datang untuk menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya dengan wajib menggunakan masker, mencuci tangan di tempat yang disediakan dan juga menjaga jarak pada saat di gedung Pengadilan Agama. “Kalau bangku yang disediakan sudah penuh, pengunjung dipersilahkan menunggu di luar,” tambahnya.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Cempaka Putrie Dimala, mengatakan, dampak pandemi corona memberikan efek bagi setiap orang.

Kondisi perubahan ini kemudian memberikan dampak psikologis tertentu pada individu yang belum siap dalam menjalani perubahan. Tidak ada kejelasan tentang kapan persoalan pandemik ini dapat berakhir, sehingga dampak psikologis yang dirasakan bisa memiliki efek yang panjang. “Pada keadaan atau situasi seperti ini, kita tidak dapat mengabaikan begitu saja kondisi psikologis dan kesehatan mental. Ada banyak ketakutan dan kecemasan dapat mendorong perilaku yang merugikan diri sendiri, karena ketidaktahuan dalam mengelola kecemasan dan ketakutan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, pandemi ini memang melahirkan kecemasan tersendiri bagi setiap orang, tidak hanya pada kondisi kesehatannya, tetapi pada penyesuaian diri pada situasi yang serba tidak menentu ini. Beragam emosi dimunculkan atas ketidaksiapan individu menerima situasi ini, diantaranya adalah masalah pemutusan hubungan kerja, masalah keuangan keluarga, yang kemudian dapat berefek pada keharmonisan rumah tangga, perlakuan terhadap anak dan bahkan dapat mendorong pada tindakan-tindakan kekerasan dalam rumah tangga. “Hal-hal seperti itulah yang kemudian menimbulkan stres sendiri dan dapat berdampak terhadap kondisi psikologis individu selama masa pandemi ini,” ujarnya. (nce/din)

Related Articles

Back to top button