(ilustrasi)
Tanggul Rawan Jebol, Banjir, Rob
KARAWANG, RAKA – Setiap tahun Kabupaten Karawang tidak pernah absen dilanda bencana banjir. Belum ada langkah jitu untuk mengatasi hal itu. Mulai dari meluapkan sejumlah sungai besar seperti Citarum, Cibeet dan Sungai Cilamaya, hingga buruknya saluran drainase di perkotaan. Padahal, sudah sejak tahun 2015, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karawang sudah melakukan pemetaan wilayah rawan bencana di Kota Pangkal Perjuangan.
Sekretaris BPBD Karawang Supriatna menyampaikan, pemetaan tersebut berdasarkan hasil survei dan observasi lapangan tim BPBD Karawang. Hasil dari pemetaan ini juga telah disampaikan ke berbagai instansi terkait di lingkungan dalam bentuk rekomendasi.
Supriatna mengatakan, terdapat 5 zona rawan bencana berdasarkan wilayah daerah aliran sungai. Zona 1 yakni mulai dari siphon Cibeet di Kecamatan Telukjambe Barat sampai jembatan Bojong, Kecamatan Karawang Barat. Sepanjang daerah aliran sungai tersebut didapati daerah rawan longsor di Kampung Mujiah, Desa Mekarmulya, Kecamatan Telukjambe Barat dan banyaknya jalan putus di desa tersebut akibat erosi sungai. Potensi bencana pada zona 1 ini adalah banjir dan longsor. “Kemudian jarak sungai dengan pemukiman penduduk itu tidak ada batas,” terangnya kepada Radar Karawang, Senin (19/10).
Rawan bencana zona 2, yaitu sepanjang Sungai Citarum sampai ke hilirnya di Kecamatan Pakisjaya. Pada zona ini, saat itu banyak ditemukan tanggul jebol. Bahkan saat itu ditemukan sejumlah pabrik batu bata di tanggul sungai yang tentunya berpotensi menimbulkan bencana. Atas rekomendasi BPBD Karawang, sampai tahun 2020 ini sejumlah tanggul telah diperbaiki dan pabrik batu bata telah dilarang. “Zona 3 ini potensi tanggul jebol dan banjir,” ucapnya.
Ia melanjutkan, rawan bencana zona 3 adalah sepanjang Kalen Cilamaya mulai dari Bendungan Barugbug dan bermuara di Laut Jawa. Potensi bencana di zona ini adalah tanggul jebol dan banjir, bahkan saat itu diperparah oleh ketidakdisiplinan warga yang kerap menggali tanah tanggul. Adapun rawan bencana zona 4 dimulai dari Bendungan Barugbug sampai ke Laut Jawa namun melalui jalur Kalen Bawah. Pada zona 4 memiliki potensi bencana banjir dan longsor.
Terakhir, kata Supriatna, yakni rawan bencana zona 5 sepanjang garis pantai utara Kabupaten Karawang. Daerah ini berpotensi terjadi abrasi pantai, namun di sejumlah titik lainnya terjadi akresi pantai. “Contoh pantai Samudera Baru, lima tahun yang lalu belum ada, sama dengan Cibeet, (wilayah) Karawang habis, Bekasi nambah, kalau Bekasi habis Karawang nambah,” paparnya.
Peta zona rawan bencana tersebut sampai saat ini masih menjadi pegangan BPBD Karawang. Meski demikian, Supriatna mengakui pemetaan tersebut belum tuntas sebab hanya berdasarkan daerah aliran sungai. Diakuinya belum ada pemetaan potensi bencana berdasarkan curah hujan yang tinggi. “Karawang kota ini juga kan banjir, tapi kalau kita bicara Karawang kota ada kewenangan lain, misalnya PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang), ya mungkin drainase dan sebagainya,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala BPBD Karawang Yasin Nasrudin menyampaikan, potensi bencana di Karawang yang paling sering terjadi adalah banjir. Ia mengatakan personel BPBD Karawang telah siap menganntisipasi bencana banjir yang kerap datang di akhir tahun. Mengenai cadangan logistik ia memastikan persediaan masih cukup, meskipun saat ini terbagi untuk penanganan pandemi Covid-19. “Ya barangkali ada saluran yang terhambat itu tolong dikerja-baktikan lah,” pesannya untuk antisipasi bajir di wilayah Karawang Kota.
Prakirawan Cuaca BMKG Bandung Yan Firdaus Permadhi mengatakan, beberapa daerah di Jabar memiliki potensi bencana banjir dan longsor menjelang perubahan cuaca ke musim hujan. Sementara itu puncak musim hujan di Jawa Barat diprediksi terjadi pada Januari-Februari 2021. “Sejauh ini untuk wilayah Jawa Barat, yang paling rentan terkena bencana hidrometeorologi (akibat fenomena La Nina) adalah daerah Jabodetabek juga wilayah yang terlewati oleh DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum memiliki kerentanan yang tinggi,” kata Yan.
Ia melanjutkan, masyarakat juga diharapkan dapat lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim hujan. “Seperti menjaga kesehatan dan lingkungan tempat tinggal masing-masing sehingga mengurangi tingkat kerawanan bencana hidrometeorologis,” kata Yan.
Dia mengatakan, masyarakat juga penting untuk tidak panik dan mencari informasi peringatan dini cuaca. “Jangan panik dan mudah termakan berita hoaks dengan selalu memantau informasi yang dikeluarkan oleh BMKG, terutama terkait dengan peringatan dini cuaca dan tinggi gelombang,” pungkasnya.
Ketua rukun nelayan Ciparagejaya Miscu mengatakan, banjir rob sudah terjadi di tempat tinggalnya, Senin (19/10) pagi hingga siang hari diduga akibat faktor cuaca pergantian musim dari angin Barat ke Timur atau sebaliknya. “Air yang masuk ke daratan bervariasi dari bibir pantai dengan ketinggian air sekitar 10 – 40 cm,” ujarnya. (din/rok/jp)