Kebahagiaan Warga Kota Belum Terukur
KARAWANG, RAKA – Berpenduduk 140.171 orang, wilayah Kecamatan Karawang Barat cukup padat penduduk. Begitupun di Kecamatan Karawang Timur, tingkat kepadatan penduduknya 1474 per kilometer persegi, dilihat dari jumlah penduduk yang mencapai 108.589 jiwa.
Problem yang dihadapi masyarakat pun beragam. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, putus sekolah, pengangguran, narkoba, prostitusi, rumah reyot, perceraian, hingga sampah.
Warga Kampung Cinangoh Barat 1, Kelurahan Karawang Wetan, Kecamatan Karawang Timur, Atum Mulyana (43) mengaku, dirinya ingin memperbaiki ekonomi kelurga. Namun sampai saat ini belum mendapatkan kesempatan karena minimnya lapangan pekerjaan yang ada di perkotaan Karawang. “Saya ingin memperbaiki ekonomi. Saya cuma kuli bangunan, itu juga kalau ada yang mengajak,” ujarnya kepada Radar Karawang.
Saat ini, kata Atum, dia sedang menganggur. Meski pembangunan di kota terus tumbuh, tapi tidak melibatkan masyarakat. “Mestinya ada pembangunan, masyarakat itu dilibatkan. Sekarang banyaknya itu pakai pihak ketiga, tidak tahu orang mana-mananya mah, pengen kita sih dilibatkan,” tuturnya.
Warga Kampung Kepuh, Kelurahan Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat, Ahmad Rijal Mutakin (20) mengatakan, Kabupaten Karawang harus dibenai. Karena banyak warganya yang tidak merasakan pembangunan. “Masalah budaya, ekonomi, dan pendidikan harus menjadi yang utama,” katanya.
Dia menilai dari banyaknya aspek seperti ekonomi, saat ini sangat jarang pengusaha kecil menjadi sasaran pemerintah. Pendidikan juga sama. Banyak pelajar yang tidak mau sekolah karena minder selalu ditagih iuran. “Beasiswa belum terdengar,” katanya.
Warga Guro, Kelurahan Karawang Wetan, Kecamatan Karawang Timur, Cecep Hardiansyah (21) mengatakan, pembangunan masih jauh dari harapan. Hal itu bisa dilihat dari penataan kota masih amburadul. “Saat ini hanya sebatas membangun dan tidak ada pengawasan. Sehingga yang sudah dibangun misal gedung, seolah-olah tidak terurus,” katanya.
Ia melanjutkan, perubahan julukan kota lumbung padi menjadi kota industri seharusnya bisa menjadi lebih megah, tertib dan tertata. Namun yang terjadi justru sebaliknya. “Nilai estetika kebersihan kurang dijaga. Pemerintah saat ini harus tegas, jangan lemah. Saat ini masih lembek,” katanya.
Sementara itu, Kasi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang Hendy menyampaikan, indeks kebahagiaan merupakan indikator baru yang direkomendasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk melihat pertumbuhan atau pembangunan yang sifatnya nonmateri. Indeks kebahagiaan itu bisa diukur secara kualitatif.
“Indeks kebahagiaan sebenarnya bisa diinisiasi oleh bupatinya. Kalau BPS ikut program pusat. Karena instansi vertikal, bukan di bawah pemda,” ujarnya.
Nilai indeks lanjut Hendy, dihitung dari pertanyaan kuesioner yang sifatnya kualitatif. Responden diminta untuk memberikan nilai dari 0-10 terkait dengan variabel-variabel tertentu.
Contohnya terkait dengan kepuasan terhadap penghasilan. Responden menilai berapa dalam rentang 0-10. Variabel lain terkait dengan pendidikan yang didapatkan, bisa juga terhadap kesehatan selama ini serta terhadap keamanan dan lainnya. “Seluruh penilaian ini kemudiaan dibuatkan indeks yang nilainya antara 0-100,”
katanya.
Pemerintah lanjut Hendy, bisa melihat apakah pembangunan materiil telah seiring dengan pembangunan nonmateriil. “Misalnya pertumbuhan ekonomi tinggi, apakah seiring dengan meningkatnya kebahagiaan warganya?
Ketika seiring, maka pembangunan sudah baik. Ini namanya pembangunan berkualitas, tapi kalau tidak maka ada yang salah. Bisa jadi pertumbuhan tidak dinikmati oleh seluruh warganya,” ungkapnya. (apk)