KARAWANG

Lulusan SMA Rebut Pekerjaan Lulusan SD

METROPOLIS, RAKA – Persoalan pengangguran di Indonesia dipicu tiadanya kesesuaian antara jenjang pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja. Kondisi ini memicu tenaga kerja terdidik, justru mengambil lahan pekerjaan kelompok tidak terampil.

Data Kemendikbud mengungkapkan, 80 persen lulusan SMA tidak melanjutkan kuliah. Diduga, sebagian besar yang tidak melanjutkan belajar ke perguruan tinggi itu langsung terjun ke dunia kerja. Sayang, dunia kerja belum ramah dengan lulusan SMA sederajat.

Ekonom senior Bank Dunia Vivi Alatas menilai, lahan pekerjaan bagi lulusan SMA sederajat semakin sempit dengan adanya fenomena tenaga kerja terdidik justru mengambil lahan pekerjaan kelompok tidak terampil. Indikasi ini muncul dari data Badan Pusat Statistik yang mencatat lulusan pendidikan tinggi baru 5 persen dari total angkatan kerja. “Alhasil, mayoritas pasar buruh diisi alumnus pendidikan dasar dan menengah,” ujarnya.

Masalahnya, lanjut Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses informasi soal lapangan pekerjaan. Akhirnya, banyak lulusan SMA yang bersedia melakoni pekerjaan yang seharusnya diperuntukan lulusan SD dan SMA. “Sekitar 20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen semisklilled,” kata Vivi.

Fenomena tersebut imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil jatah lulusan SMA. Vivi menyebut, salah satu solusi jangka pendek supaya lulusan SMA tidak lagi masuk pasar tenaga kerja tidak terampil adalah pelatihan setelah lulus sekolah. Itu bisa difasilitas pemerintah atau pelaku usaha. “Pemberi kerja biasanya menuntut kualitas SDM. Sementara di sini, bagi lulusan SMA atau di bawahnya, tida ada kesempatan meningkatkan keterampilan setelah lulus,” ungkapnya.

Pemerataan lapangan kerja, dan kesesuaian pekerjaan menurut tingkat pendidikan, menurut Bank Dunia, akan membantu perbaikan ekonomi. Kondisi saat ini membuat masyarakat paling bawah, terutama lulusan SD, bekerja di sektor informal yang sangat tidak menentu kepastian penghasilannya. Itu pula yang menyebabkan koefisien gini Indonesia sekarang berada di indeks 0.41, artinya kesenjangan kaya miskin sangat terasa. Berdasarkan data Bank Dunia, pengeluaran harian keluarga termiskin di Tanah Air hanya 1/7 dari keluarga terkaya. “Itu semua menyebabkan pertumbuhan tidak dinikmati semua penduduk. Padahal, hal paling penting agar semua menikmati kue ekonomi adalah pekerjaan, ini kunci bagi 40 persen penduduk termiskin meningkat taraf hidup,” katanya. (psn/jp)

Related Articles

Back to top button